Monday, February 17, 2014

BIOGRAFI HAN DAN MEMBACA SEORANG HANNA

Dalam kesusastraan Modern Indonesia, belum lagi saya temui biografi penyair yang diungkap dalam kata dan syair seluas ini. Hanna Fransisca ( Zhu Yong Xia ) adalah satu nama yang tiba-tiba membrundal dalam sastra Indonesia, bukan saja ucapan yang ril, tetapi pendedahan biografi dirinya yang deng-dengan. Misalnya dalam pengantar buku Konde Penyair Han, Hanna begitu teliti dan telaten menulis biografi keluarga Han. Hanna menulis, sejak kecil saya menyukai kesendirian: cara menulisnya seperti sebuah cerpen. Dengan judul Konde dan Rambut Saya Yang Jelita, Hanna bercerita selancar air mengalir.


Di belakang rumah saya ada hamparan semak, di depan rumah tak ada bunga-bunga yang bisa ditanam ( halaman rumah yang bisa ditanami adalah kemewahan yang tak dimiliki keluarga kami ), maka puluhan bunga-bunga liar, serta warna-warna ilalang yang sering berubah setiap  musim berganti, menjadi surga bagi kesendirian. Saya sering kali terpesona dengan kerisik angin yang menompa ratusan ilalang, bunyi unggas milik tetangga, burung-burung kecil yang liar, serta binatang-binatang halus yang sentiasa beterbangan ketika malam tiba. Saya selalu membayangkan mereka cukup bahagia.

Ini suasana yang menjadi bekal untuk Hanna menjadi seniman kemudiannya. Tanpa pengalaman sedemikian, apakah Hanna akan tumbuh seperti sekarang? Apakah Hanna hanya mengutip dari baca dan cerita lalu menompanya sebagai sebuah cerpen atau puisi? Inilah pengalaman yang cukup mahal namun sekiranya Hanna tidak hadir menjadi penyair, apakah kita akan berkongsi pengalaman tersebut dengannya.

Kemudian Hanna menceritakan zaman persekolahannya. Katanya, setiap pagi saya berangkat ke sekolah dengan sepasang sepatu yang paling buruk. Sungai dan gemericik air yang selalu saya lewati ketika pergi dan pulang adalah keajaiban lain yang tertinggal menjadi ingatan. Gema para perempuan yang mencuci pakaian, suara kain basah yang dibanting di atas papan, serta mulut anak-anak yang berteriak memanggil ibunya. Saya melihat para perempuan, anak-anak, dan sungai jernih yang mengalirkan kehidupan panjang sesuatu yang mengandung bahagia.

Dalam puisi-puisinya juga ada terselit sebuah biografi keluarga dan dirinya. Sajak Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi ( biografi han ) Singkawang Petang, Amoi dan Air Mata Tanah Air, Hanna ternyata telah melengkapkan biografinya dalam diari kesusasteraan Indonesia yang gencar ini. Sajak Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi terdapat pada halaman 22 hingga 25. Sajak panjang ini ditulis seperti ini;

1.
maaf. mulut adalah lubuk biru
tempat rimbun anggur dan lembut kabut
ada gerimis kecil pagi hari. ada matahari
dan tujuh warna pelangi
ada wangi gadis sehabis mandi

maaf. di kuburan kita janji ketemu
hantu lelaki yang menggigil lantaran istri
yang mati. sebut sembarang saja
namanya: aliong, aliung, along
atau nama lain seperti hartono, hartanto
hardoyo, atau nama lain yang semisal babi licik
maling baba, - bukan pribumi
atau sebut nama lain sesukamu. maaf
maaf, maaf. mulut adalah lubuk biru

2.
pada sebuah malam, sebelum ia mati
perempuan itu berjanji punya kekasih
setelah tak lulus SMP negeri, setelah guru
tulen pribumi dengan pasti mengatainya:
" di sudut bibirmu ada sebutir nasi
bukan tempatmu tinggal di sini "

sejak itu ia membuang mimpi
terbang memungut bintang
sejak itu ia selalu melihat: ada sebutir debu
terjungkal di sudut jurang

sebab hanya orang jatuh cinta bisa lancar bicara
laut, gugutan daun hutan kalimantan, ombak natuna
lereng merapi, lembah ngarai bukit barisan
kemilau sayap seribu capung di bantimurung
seluruh tanah kelahiran yang disebut negeri. ai
sedang ia tak pernah bisa sebut nama sendiri

ia tak ingin hidup ampai mati di sini
mungkin kelak ia pandai menghitung koin
melipat ruko dan barang kelontong demi harga diri
tapi ia sungguh tak ingin tidur dan mati
di dalam peti. satu hal pasti: sejak disapa
guru pribumi jadi noni, ia lantas berhenti
membaca negeri. ia putuskan
tak lagi jatuh cinta. di sudut bibirmu
ada sebutir nasi. " engkau hanyalah tamu
tanah dan air, menunggu di beranda
sampai mati " ai. maaf

betapa rabun matahari di tebing mimpi
rambutmu tumbuh hitam sesubur hutan
sepanjang musim penghujan, pipimu putih
hamparan pasir-pasir kemarau
di pulau-pulau sunyi. ada gerimis di pagi hari
ada matahari dan tujuh warna pelangi

3.
kekasih sejarti selalu datang malam-malam
dari sunyi gelap sendiri, noni. mengajakmu
melihat jendela, membacai peta, memunguti kembali
bintang mati, dan menyihirnya jadi namamu

kekasih sejati datang berkali, noni, menculikmu
di petang siang. mencumbu wangi hari-hari
mengajak selingkuh dalam nikmat setubuh
pertama kali

kekasih sejati mengetuk pintu pagi sekali, noni
memberimu bunga warna-warni, lalu bilang sekali lagi
" kelahiranmu di bumi pertiwi
membikin wajah negeri cantik sekali "

Tapi lelaki lain, yang kausebut sembarang: aliong
atau hartono, atau baba, bukan pribumi
membisikkan kata yang membuatmu kembali tiada:
" apa guna engkau membaca? marilah kita
menjadi tikus baba, kawin dan beranak
di gorong-gorong baba, membuat lubang
menjadikannya pipa baba, yang kelak menembus kota!
mari kita balas dengan katakan bedebah
kumpulkan senjata nasi jadi gemerincing kunci
buat apa engkau mencinta? kita akan kawin
bikin perahu dan penuhi koin, seberangkan kunci-kunci
melintas lautan, ke mana saja ke semua benua:
itulah tanah air kita! maaf. mulut adalah lubuk biru

4.
nyanyian baba, nyanyian hantu di negeri air mata
kekasih memberi cahaya, suami memainta nyawa
di kuburan kita janji bertemu. apakah cinta
serupa batu nisan tegak setia atau serupa kuburan
yang dikenang saat ingat waktu sembahyang?
leluhur-leluhur mati di atas perahu. meski kekasih
datang memberi wangi, jaring-jaring menghalau tikus
di benteng ruko, di papan nama pecinaan
di mulut ibu guru yang menyebut namamu noni
di kepala anak-anak yang mengaku diri pribumi
di benak mereka yang selalu menunggu waktu
untuk membakar buku kemaluanmu. maaf

di kuburan, kita telah bertemu


Membaca catatan dan puisi berupa biografi, kita mulai terkesan dari mana Hanna bermula. Ini kekuatan Hanna yang tidak dipunyai oleh penyair lain hatta penyair yang bergelar pribumi seperti yang berulangkali Hanna tekankan. Melalui puisi ini ternyata Hanna melalui jalan yang sukar sebagai etnis minoritas Cina di tengah kelompok miyoritas pribumi.


Dalam Singkawang Petang, biografi Hanna semakin jelas. Puisi ini ditulis sedemikian:

1.
di rumah deru, kotamu berdentang sepanjang petang
deretan toko dan jalan simpang. kuil naga mengaumkan
dupa, menuju sunyi bagi pertapa. sungai mengalir ke
pusat semesta
o dewiku kwan im, singkawan menggema dari dua
susumu
hingga ketemu batu api
di pusar dara

" adik, naik kapal ke laut taiwan, kupegang rambutmu
di bahu abang. bulan di geladak
lebih indah dan terang
dibanding langit singkawang

( bukan cinta mendayung perahu, abang. bukan.
tapi terang kota dan gaun sutra, yang kaujanjikan
di tanah seberang. akan kulumat bintang gemintang
seribu surga seratus permata, lantaran dara singkawang
pergi bersama abang. semata
hanya untuk berperang )

Ada banyak  orang tua di Singkawang yang mengharapkan agar gadis-gadisnya bisa dipinang oleh lelaki Taiwan. Mereka percaya bahwa nasibnya akan terangkat jika salah satu anak mereka bisa dipinang dan dibawa ke Taiwan. Untuk itu, mereka bersembahyang di kuil secara khusus untuk meminta agar memberi restu. Uang susu berupa mahar yang akan dibayar oleh lelaki Taiwan kepada kedua orang tua gadis. Harga mahar yang sepenuhnya menjadi hak milik orang tua gadis, ditentukan berdasarkan tawar menawar. Biasanya berkisar antara 5 hingga 15 juta rupiah, bergantung pada kualitas gadis yang ditawarkan, serta kedudukan pria yang menawarkan. Parabola, atap seng, piring dan gelas kaca adalah identitas kebanggaan yang menandakan bahwa mereka kaya, atau setidaknya harus dianggap kaya. Benda-benda itu memiliki gengsi yang tinggi di mata masyarakat. Biasanya, orang tua yang boleh berhasil menjodohkan anaknya dengan lelaki Taiwan, dan telah menerima uang susu atau mahar, mereka akan memasang antena parabola sebagai tanda bahwa mereka sukses.

Jamal D Rahman menyatakan bahwa Hanna sangat berhasil dalam puisinya dari sudut estatika bahasa. Puisi ini menjanjikan sejak dari judulnya lagi, Singkawang Petang. Bukan saja indah secara rima, juga membangkitkan suasana dan asosiasi yang nanti sejalan dengan seluruh nada dan isi puisi.

sebab dentang singkawang sepanjang petang
alis seribu dara
tegak membara. dari rahim kulit tionghua, kemarau
gundul pepohon abu
di lorong pecinan kota dan desa, apak dan amok
menghunus batu melempar dupa
di gerbang vihara mereka tersedu: " cukup kami saja
pemikul samsara abadi
dari leluhur sudra di kubur bisu - tanpa arak tanpa
warisan harta
maka wahai dewa penjaja asmara, dewa bumi
pemberi rezeki, thian agung pemelihara surga
neraka, jadikan anak dara kami cahaya wajah pualam
kulit terang purnama malam, payudara selembut
semangka dalam. ajarkan mereka
asmara pemikat sukma, sisipkan azimat lezat dari
vigina seliat naga. biarkan
mereka pergi dibeli lelaki, agar kami dilimpah rezeki

Orang tua masyarakat Singkawang, memegang teguh leluhur yang memberi nasihat, yang mengharuskan perempuan selalu tunduk dan patuh di bawah kekuasaan lelaki. Anak perempuan sama sekali tidak punya suara dalam keluarga. Dan apabila anak gadis Singkawang meningkat dewasa sekitar umur 13 atau 14 tahun, akan berkeliaran Mak Combang, istilah bagi menyebut agen perjodohan, berkeliaran untuk mencari gadis-gadis remaja, dan menjodohkannya dengan pria-pria Taiwan yang datang ke Singkawang. Rata-rata lelaki Taiwan memiliki kebiasaan mengunyah pinang, lebih-lebih para lelaki tua. Maka istilah ' pengunyah pinang ' sangat dikenali di Singkawang, yang bisa juga dikenali sebagai pencari jodoh.

Anak-anak gadis Singkawang seringkali ditakut-takutkan dengan segala jenis kutukan. Kutukan ini akan terlontar jika batas kemarahan sudah tidak bisa ditolelit. Dan bagi generasi tua di Singkawang, menjelang imlek adalah waktu yang ditunggu-tunggu, karena anak-anak yang merantau akan kembali makan bersama dengan kaum keluarga. Jamkai, ayam kampung jantan yang telah dikebiri, dan kaki babi, adalah persembahan wajib, dalam tradisi lama, dari menantu lelaki pada mertuanya pada hari perayaan seperti imlek, pecun dan moon cake. Chengbeng merupakan hari sekar. Hari di mana anak-anak menunjukkan rasa baktinya pada orang tua yang telah tiada dengan memberikan perlimpahan jasa berupa persembahan berupa berbagai hidangan di atas kubur orang tua mereka.

Dalam puisi dan cerpen, Hanna bercerita tentang sosio-budaya masyarakat dan etnis Tionghua terutamanya di Singkawang. Dengan hanya membaca kisah yang ditulis secara cereka, kita yang pribumi bisa mengenali minoritas Cina di tanah air kita ini.


Pribumi harus berasa malu, karena negara mempunyai seorang Hanna Fransisca. Hanna yang masa kecilnya terkucil, dewasanya membentuk pribadi yang mulia. Melihat gejala korupsi yang rata-rata dilakukan oleh pribumi yang menduduki papan atas, Hanna bergumam melalui media Mer Psy yang dipimpinnya. Kata Hanna, para intelektual, orang-orang terpelajar - mereka yang saling berdebat dengan kerut muka yang semakin bertambah tua. Di layar-layar televisi, para pembaca berita yang cantik dan wangi dengan mulut tersenyum. Ada wajah-wajah kusut yang silih berganti muncul di ruang sidang, tempat para pengacara dan ahli hukum menyembunyikan dirinya rapat-rapat di balik buku-buku tebal teori keadilan ( seperti pencuri yang mengendap-endap di tengah malam ) Pemimpin partai, para politis, berjas rapi, gerombolan cukong politik dan calo-calo kaya, mereka berbaur bersama-sama dan meneriakkan kata palsu yang sama " bersama rakyat kita perangi korupsi! "


Hanna yang sewaktu kecilnya terdampar di suatu daerah yang suram dan seram di Singkawang, yang pernah dikatai oleh guru tulen pribumi, " di sudut bibirmu ada sebutir nasi, bukan tempatmu tinggal di sini, " juga " engkau hanyalah tamu tanah dan air, menunggu di beranda sampai mati ", kini menjembar jendela intelek dan kemanusiaannya. Lontaran suaranya merumus korupsi dengan tegas, jika tidak, bagaimanakah kita bisa memahami ribuan massa yang mengelu-elukan pejabat yang dibebaskan dari penjara lantaran korupsi? Mereka menjemput ' tokoh kita ' di pintu penjara dengan sukacita, mengaraknya dengan kegembiraan, serta menyaksikan bagaimana tokoh kita bersujud mencium tanah, seolah-olah apa yang telah dialami oleh tokoh kita adalah sebuah penzaliman atas seseorang yang tiada bersalah. Beginilah Hanna berkomentar, melihat betapa manusia yang sepatutnya terpuji karena kedudukannya di papan atas penguasa, menjadi srigala yang memangsakan segalanya milik rakyat dan masyarakat. Inilah Hanna dari tanah Singkawang yang telah berubah menjadi pemikir dan insan berperasaan. Dari lembah hitam kecamatan Singkawang ke metropolitan Jakarta dengan seribu kemungkinan.

No comments:

Post a Comment