Saturday, June 18, 2011

EMPAT PUISI TAUFIQ ISMAIL ; PENYAIR LANGIT


Taufiq Ismail
Taufiq Ismail sebelum muncul dengan lebih tenger pada tahun 1966 hingga H.B. Jassin meletakkan beliau sebagai pelopor Angkatan 66, beliau telah lama menulis. Beliau lahir dari keluarga  guru dan wartawan dan bercita-cita menjadi sasterawan sejak di bangku SMA lagi. Cita-citanya menjadi doktor hewan yang mempunyai perusahaan ternak sebagai sumber sara hidup sebagai seniman tulen. Rupanya sebagai usahawan ternak beliau gagal, namun doktor hewan bisa diraihnya. Tamat FKHP-UI Bogor pada 1963.

Beliau terlibat aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI pada 1960-1961, WaKa Dewan Mahasiswa UI pada 1961-1962. Di Bogor menjadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis. Beliau menandatangani Manifesto Kebudayaan yang mengakibatkan beliau dipecat dari dosen di Institut Pertanian Bogor ( 1964 )  Akibatnya juga beliau gagal melanjutkan pelajaran di Florida, Amerika Serikat dalam jurusan Pengurusan Penternakan. Di tanahair, beliau salah seorang pendiri majalah sastra Horison ( 1966 ) Pelopor Angkatan 66 yang memunculkan penyair yang punya gengsi. Kumpulan puisi yang diterbitkan ialah Malu Aku Menjadi Orang Indonesia ( ? ) Manifestasi  ( bersama Goenawan Mohammad, M. Saribi dll, 1963  ) Tirani  ( 1966 ) Sajak-Sajak Ladang Jagung ( ? ) Puisi-Puisi Sepi  ( 1970 ) Buku Tamu Museum Perjuangan ( 1969 ) Puisi-Puisi Langit ( 1990 ) Tirani dan Benteng ( 1993 ) Ketika Kata, Ketika Warna ( ? ) Seulawah - antologi Sastra Aceh ( ? ) Manakala karya terjemahannya pula ialah Bonjour Tristesee ( Francoise Sagan, 1960 ) Cerita Tentang Atom ( Ira & Manfreeman, 1962 ) Membangun Kembali Fikiran Agama dalam Islam ( Goenawan Mohammad & Ali Audah, 1966 )

Taufiq terkenal sebagai penyair sufi ( langit? ) dan keterlibatan beliau dalam kumpulan Bimbo adalah untuk menyebarluaskan pengaudionan puisi. Bimbo yang dipimpin oleh Samsudin Hardjakasumah, Acil Darmawan, Djaka dan Iin Parlina mendapat suntikan baru oleh puisi-puisi Taufiq. Puisi Taufiq juga dinyanyikan oleh Ahmad Akbar dan Ucok Harahap. Sepanjang penglibatannya, beliau dianugerahkan Anugerah Seni ( 1970 ) atas kumpulan puisinya Benteng ( 1966 ) oleh pemerintah Indonesia, Cultural Visit Award ( Australia, 1977 ) S.E.A. Write Award  ( 1994 ) Penyair Tamu University Iowa ( 1971-1972/ 1991-92 ) Pengarang Tamu DBP Kuala Lumpur ( 1990 ) Sebagai seorang seniman sufi beliau sangat reponsif terhadap masalah sosial dan alam lingkungannya, humuristik yang menjadikan karyanya kekal dimanfaatkan. Melalui Bimbo lebih 100 album dihasilkan dan rata-rata puisinya sampai ke khalayak ramai. Dengan jalur itu beliau berdakwah sambil memperkenalkan keindahan dan ketulusan puisi. Cara begitulah seniman-seniman Islamik berkarya seperti Kahlil Gibran, Iqbal, Saleh Abdussabur, Danarto dan Kemala. Ia dapat membedakan arti realitas, sejarah, kenyataan sosial dan egaliterisme yang dipunyai oleh orang beragama berbanding ethies. Dan Taufiq mempunyai ciri-ciri ini.

Untuk melihat kelainan Taufiq Ismail, empat buah puisi ini sebagai bukti.


buku tamu musim perjuangan

pada tahun keenam
setelah di kota kami didirikan
sebuah museum perjuangan
datanglah seorang lelaki setengah baya
berkunjung dari luar kota
pada sore bulan november berhujan
dan menulis kesannya di buku tamu
buku tahun keenam, halaman seratus
     delapan

bertahun-tahun aku rindu
untuk berkunjung ke mari
dari tempatku jauh sekali
bukan sekadar mengenang kembali
hari tembak-menembak dan malam
   penyergapan
di daerah ini
bukan sekadar menatap lukisan-lukisan
dan potret para pahlawan
mengusap-usap karaben tua
babymortir buatan sendiri
atau menghitung-hitung satyalencana
dan selalu mempercakapkannya

alangkah sukarnya bagiku
dari tempatku kini, yang begitu jauh
untuk datang seperti saat ini
dengan jasad berbasah-basah
dalam gerimis bulan november

datang sore ini, menghayati museum yang
   lengang
sendiri
menghidupkan diriku kembali
dalam fikiran-fikiran waktu gerilya
di waktu kebebasan adalah impian
   keabadian
dan belum terfikir oleh kita masalah
   kebendaan
penggelapan dan salahguna pengatas-
   namaan

begitulah aku berjalan, pelan-pelan
dalam museum ini yang lengang
dari lemari kaca tempat naskhah-naskhah
    berharga
ke sangkutan ikat kepala, sangkur-sangkur
    berbendera
maket pertempuaran dan pengergapan di
    jalan
kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam
jajasan bisu pistol buildog, pistol Colt
PENGOEMOEMAN REPUBLIK yang mulai
    berdebu
gambar laskar yang kurus-kurus
dan kuberi tabik khidmat dan diam
pada gambar Pak Dirman

mendekati tangga turun, aku menoleh
       kembali
ke ruang yang sepi dan dalam
jendela museum dipukul angin dan hujan
kain pintu dan tingkap bergetaran
di pucuk-pucuk cemara halaman
tahun demi tahun mengalir pelan-pelan

di depan tugu dalam museum ini
menjelang pintu keluar di tingkat bawah
aku  berdiri dan menatap nama-nama
dipahat di sana dalam keping-keping
   aluminia
mereka yang telah tewas
dalam perang kemerdekaan
dan setinggi pundak jendela
kubaca namaku di sana..

gugur dalam pencegatan
tahun empat puluh delapan

demikianlah secara kakek penjaga
tentang pengunjung lelaki setengah baya
berkemeja dril lusuh, dari luar kota
matanya memandang jauh, tubuh amat
    kurusnya
datang ke museum perjuangan
pada suatu sore yang sepi
ketika hujan runai tetes-tetes di jendela
dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-
  pucuk cemara
lelaki itu menulis kesannya di buku tamu
buku tahun keenam, halaman seratus
    delapan

dan sebelum dia pergi
menyelami dulu kakek aki
dengan tangannya yang dingin anih
seetelah ke tugu nama-nama dan menoleh
lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
dan menjelang pagi halaman
lelaki itu tiba-tiba menghilang

1985


aisyah adinda kita

aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
angka smp dan sma sembilan rata-rata
pandai mengarang dan berorganisasi
mulai muharam satu empat nol satu
memakai jilbab menutup rambutnya
busana muslimah amat pantasnya

aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
indeks prestasi tertinggi tiga tahun lamanya
calon insinyor dan bintang di kampus
bulam muharram satu empat nol empat
tetap berjilbab menutup rambutnya
busana muslimah amat pantasnya

aisyah adinda kita
tidak banyak berkata
dia memberi contoh saja

ada sepuluh aisyah berbusana muslimah
ada seratus aisyah berbusana muslimah
ada sejuta aisyah berbusana muslimah
ada sejuta aisyah
aisyah adinda kita

1984


beri daku kesumba

di uzbekistan ada padang terbuka dan berdebu
aneh, aku jadi ingat pada umbu

rinduku pada kesumba adalah rindu padang-padang
   terbuka
di mana matahari membusur api di atas sana
rinduku pada sumba adalah rindu penternak
   perjaka
bila mana peluh dan tenaga tanpa di hitung harga

tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
klemeng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
berdirilah di pesisir, matahari 'kan terbit dari laut
dan angin zat asam panas dikipas dari sana

beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau
    dan sepi malam hari
beri daku sepucuk gitar, bossa-nova dan tiga ekor
    kuda
beri daku cuaca tropika tering tanpa hujan ratusan
    hari
beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata,
    namanya sumba

rinduku pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang
    jauh
sementara langit bagai kain membenam tangan , gelap
    coklat tua
dan bola api, merah padan, membenam di ufuk
    teduh
rinduku pada sumba adalah rindu padang-padang
     terbuka
di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan
     ternak melenguh
rinduku pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang
     jauh

1970


sejadah panjang

ada sajadah panjang terbentang
dari kaki buaian
sampai ke tepi kuburan hamba
kuburan hamba bila mati

ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan sujud
di atas sajadah yang panjang ini

diselingi sekadar interupsi
mencari rezeki, mencari ilmu
mengukur jalanan seharian
begitu terdengar suara azan
kembali tersungkur hamba

ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud dan tak lepas kening hamba
mengingat dikau
sepenuhnya

1984


rujukan

1. Dewan Sastera ( Desember 1986/ 1991 )
2. Pilihan Puisi-Puisi Baru Malaysia-Indonesia ( DBP, 1980 )
3. Ensaiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu ( DBP, 1999 )

ralat

* pembetulan jodol : 1. Buku Tamu Museum Perjuangan
                                  2. Beri Daku Sumba
                                  3. Sajadah Panjang
terima kasih pada Dr. Sudaryono atas koreksi dan perhatiannya.

No comments:

Post a Comment