![]() |
Taufiq Ismail |
Beliau terlibat aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI pada 1960-1961, WaKa Dewan Mahasiswa UI pada 1961-1962. Di Bogor menjadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis. Beliau menandatangani Manifesto Kebudayaan yang mengakibatkan beliau dipecat dari dosen di Institut Pertanian Bogor ( 1964 ) Akibatnya juga beliau gagal melanjutkan pelajaran di Florida, Amerika Serikat dalam jurusan Pengurusan Penternakan. Di tanahair, beliau salah seorang pendiri majalah sastra Horison ( 1966 ) Pelopor Angkatan 66 yang memunculkan penyair yang punya gengsi. Kumpulan puisi yang diterbitkan ialah Malu Aku Menjadi Orang Indonesia ( ? ) Manifestasi ( bersama Goenawan Mohammad, M. Saribi dll, 1963 ) Tirani ( 1966 ) Sajak-Sajak Ladang Jagung ( ? ) Puisi-Puisi Sepi ( 1970 ) Buku Tamu Museum Perjuangan ( 1969 ) Puisi-Puisi Langit ( 1990 ) Tirani dan Benteng ( 1993 ) Ketika Kata, Ketika Warna ( ? ) Seulawah - antologi Sastra Aceh ( ? ) Manakala karya terjemahannya pula ialah Bonjour Tristesee ( Francoise Sagan, 1960 ) Cerita Tentang Atom ( Ira & Manfreeman, 1962 ) Membangun Kembali Fikiran Agama dalam Islam ( Goenawan Mohammad & Ali Audah, 1966 )
Taufiq terkenal sebagai penyair sufi ( langit? ) dan keterlibatan beliau dalam kumpulan Bimbo adalah untuk menyebarluaskan pengaudionan puisi. Bimbo yang dipimpin oleh Samsudin Hardjakasumah, Acil Darmawan, Djaka dan Iin Parlina mendapat suntikan baru oleh puisi-puisi Taufiq. Puisi Taufiq juga dinyanyikan oleh Ahmad Akbar dan Ucok Harahap. Sepanjang penglibatannya, beliau dianugerahkan Anugerah Seni ( 1970 ) atas kumpulan puisinya Benteng ( 1966 ) oleh pemerintah Indonesia, Cultural Visit Award ( Australia, 1977 ) S.E.A. Write Award ( 1994 ) Penyair Tamu University Iowa ( 1971-1972/ 1991-92 ) Pengarang Tamu DBP Kuala Lumpur ( 1990 ) Sebagai seorang seniman sufi beliau sangat reponsif terhadap masalah sosial dan alam lingkungannya, humuristik yang menjadikan karyanya kekal dimanfaatkan. Melalui Bimbo lebih 100 album dihasilkan dan rata-rata puisinya sampai ke khalayak ramai. Dengan jalur itu beliau berdakwah sambil memperkenalkan keindahan dan ketulusan puisi. Cara begitulah seniman-seniman Islamik berkarya seperti Kahlil Gibran, Iqbal, Saleh Abdussabur, Danarto dan Kemala. Ia dapat membedakan arti realitas, sejarah, kenyataan sosial dan egaliterisme yang dipunyai oleh orang beragama berbanding ethies. Dan Taufiq mempunyai ciri-ciri ini.
Untuk melihat kelainan Taufiq Ismail, empat buah puisi ini sebagai bukti.
buku tamu musim perjuangan
pada tahun keenam
setelah di kota kami didirikan
sebuah museum perjuangan
datanglah seorang lelaki setengah baya
berkunjung dari luar kota
pada sore bulan november berhujan
dan menulis kesannya di buku tamu
buku tahun keenam, halaman seratus
delapan
bertahun-tahun aku rindu
untuk berkunjung ke mari
dari tempatku jauh sekali
bukan sekadar mengenang kembali
hari tembak-menembak dan malam
penyergapan
di daerah ini
bukan sekadar menatap lukisan-lukisan
dan potret para pahlawan
mengusap-usap karaben tua
babymortir buatan sendiri
atau menghitung-hitung satyalencana
dan selalu mempercakapkannya
alangkah sukarnya bagiku
dari tempatku kini, yang begitu jauh
untuk datang seperti saat ini
dengan jasad berbasah-basah
dalam gerimis bulan november
datang sore ini, menghayati museum yang
lengang
sendiri
menghidupkan diriku kembali
dalam fikiran-fikiran waktu gerilya
di waktu kebebasan adalah impian
keabadian
dan belum terfikir oleh kita masalah
kebendaan
penggelapan dan salahguna pengatas-
namaan
begitulah aku berjalan, pelan-pelan
dalam museum ini yang lengang
dari lemari kaca tempat naskhah-naskhah
berharga
ke sangkutan ikat kepala, sangkur-sangkur
berbendera
maket pertempuaran dan pengergapan di
jalan
kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam
jajasan bisu pistol buildog, pistol Colt
PENGOEMOEMAN REPUBLIK yang mulai
berdebu
gambar laskar yang kurus-kurus
dan kuberi tabik khidmat dan diam
pada gambar Pak Dirman
mendekati tangga turun, aku menoleh
kembali
ke ruang yang sepi dan dalam
jendela museum dipukul angin dan hujan
kain pintu dan tingkap bergetaran
di pucuk-pucuk cemara halaman
tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
di depan tugu dalam museum ini
menjelang pintu keluar di tingkat bawah
aku berdiri dan menatap nama-nama
dipahat di sana dalam keping-keping
aluminia
mereka yang telah tewas
dalam perang kemerdekaan
dan setinggi pundak jendela
kubaca namaku di sana..
gugur dalam pencegatan
tahun empat puluh delapan
demikianlah secara kakek penjaga
tentang pengunjung lelaki setengah baya
berkemeja dril lusuh, dari luar kota
matanya memandang jauh, tubuh amat
kurusnya
datang ke museum perjuangan
pada suatu sore yang sepi
ketika hujan runai tetes-tetes di jendela
dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-
pucuk cemara
lelaki itu menulis kesannya di buku tamu
buku tahun keenam, halaman seratus
delapan
dan sebelum dia pergi
menyelami dulu kakek aki
dengan tangannya yang dingin anih
seetelah ke tugu nama-nama dan menoleh
lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
dan menjelang pagi halaman
lelaki itu tiba-tiba menghilang
1985
aisyah adinda kita
aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
angka smp dan sma sembilan rata-rata
pandai mengarang dan berorganisasi
mulai muharam satu empat nol satu
memakai jilbab menutup rambutnya
busana muslimah amat pantasnya
aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
indeks prestasi tertinggi tiga tahun lamanya
calon insinyor dan bintang di kampus
bulam muharram satu empat nol empat
tetap berjilbab menutup rambutnya
busana muslimah amat pantasnya
aisyah adinda kita
tidak banyak berkata
dia memberi contoh saja
ada sepuluh aisyah berbusana muslimah
ada seratus aisyah berbusana muslimah
ada sejuta aisyah berbusana muslimah
ada sejuta aisyah
aisyah adinda kita
1984
beri daku kesumba
di uzbekistan ada padang terbuka dan berdebu
aneh, aku jadi ingat pada umbu
rinduku pada kesumba adalah rindu padang-padang
terbuka
di mana matahari membusur api di atas sana
rinduku pada sumba adalah rindu penternak
perjaka
bila mana peluh dan tenaga tanpa di hitung harga
tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
klemeng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
berdirilah di pesisir, matahari 'kan terbit dari laut
dan angin zat asam panas dikipas dari sana
beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau
dan sepi malam hari
beri daku sepucuk gitar, bossa-nova dan tiga ekor
kuda
beri daku cuaca tropika tering tanpa hujan ratusan
hari
beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata,
namanya sumba
rinduku pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang
jauh
sementara langit bagai kain membenam tangan , gelap
coklat tua
dan bola api, merah padan, membenam di ufuk
teduh
rinduku pada sumba adalah rindu padang-padang
terbuka
di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan
ternak melenguh
rinduku pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang
jauh
1970
sejadah panjang
ada sajadah panjang terbentang
dari kaki buaian
sampai ke tepi kuburan hamba
kuburan hamba bila mati
ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan sujud
di atas sajadah yang panjang ini
diselingi sekadar interupsi
mencari rezeki, mencari ilmu
mengukur jalanan seharian
begitu terdengar suara azan
kembali tersungkur hamba
ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud dan tak lepas kening hamba
mengingat dikau
sepenuhnya
1984
rujukan
1. Dewan Sastera ( Desember 1986/ 1991 )
2. Pilihan Puisi-Puisi Baru Malaysia-Indonesia ( DBP, 1980 )
3. Ensaiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu ( DBP, 1999 )
ralat
* pembetulan jodol : 1. Buku Tamu Museum Perjuangan
2. Beri Daku Sumba
3. Sajadah Panjang
terima kasih pada Dr. Sudaryono atas koreksi dan perhatiannya.
No comments:
Post a Comment