Saturday, June 18, 2011

ENAM PUISI SUHAIMI HAJI MUHAMAD

Suhaimi Haji Muhamad, satu nama besar dalam dunia puisi Malaysia. Penyair yang dikatakan menyimpang di kalangan penyair sezamannya. Sajaknya lari dari sajak komunikatif, dan dikatakan sangat prosaik. Sudah tentu premis yang dikemukakan oleh Laurrane Perrine dapat diambilkira yang mengatakan pengalaman penyair sangat mempengaruhi karya penyair. Dasar makna, skima baris, sukatan dan bunyi dapat membantu menilai keseluruhan puisi. Dan apabila dilihat pada keseluruhan hasil tulisan penyair dalam sebuah kumpulan puisi malah puisi-puisi ciptaannya sepanjang zaman, ia menjadi suatu reformis pada penyair tersebut. Kelihatannya ia sebuah penyimpangan total.

Yang demikian, saya perturunkan enam buah puisi Suhaimi Haji Muhamad untuk melihat kejituannya.

Waktu Keluar
aku kamar
   di dalamnya mundar-mandir darah mengilat
aku kelam
    mengalir tanpa henti sungai mawar yang remaja
kalau aku merenung keluar jendela
    yang kulihat suara pohon yang gementar

demi panas aku pun keluar
    kuingin membacakan sekeping cermin yang tua

kalian yang menunggu
    masih ada selaput bunga di padang itu

    apabila kau menolak semua

1980


Singa Tua

dunia kayu ini melepaskan mereka
   sejak malam tadi
sang pertapa duduk dengan tetap
   ke mana hilangnya anak panah
air terjun 'kan menggema lagi
   bila detik telah berlalu

pemburu berdiam sejenak - menunggu -
    dunia kayu melepaskan mereka

hanya batu-batu
    terkepung

1986

Surat

    soalnya aku tak izinkan tetes sinarku menjadi
ikan baru naik ke pantai
    soalnya aku tak ingin besi sinarku menjadi darah
ikan baru naik ke pantai
    aku tak ingin batu mawarku menjadi rusa hijau
kambing hijau di sana

    sungguh telah lama lalat-lalat mengurungi
gunung-pantai di negeri mawarku
    sungguh tak harus kutinggalkan aku sewaktu
makan kalau

    surat ini kubuat tanggal

1986


Waktu Kau

mabuk adalah masyarakat maha kuat
    duniamu sudah jauh

sekali itu kau mengangkat pistol
    menembak kepalamu lagi

isterimu di rumah mendapat khabar
     kelongsong-kelongsong yang dia pegang

perlahan-lahan dia meniduri anggur-anggurnya
     di luar taman rumah

kerana kini yang terbujur bukan tubuhmu
     tapi jatuhmu

1986


Kerajaan Jam

elang
    bulu-bulu berguguran
    berputar
tumbuh akar
    ke awan
di mana kautinggal
    hutan belentara
    ranap
rontok sosok-sosok nyawa
    makin tegang-kuntang
di negeri lapisan
    rontok mengilat
debu semakin selaput
    kelicap seekor
bertengger mengepak
   di tunggul

   debu mengilat

1986


Kulit Bunga

bicara-bicara yang ditanggalkan
   bicara yang mana
telah kaukeluarkan
   pada kulit bunga ini
yang kaukeluarkan yang mana
   entah di mana
aku bersama sate kijang
   yang menumpukan
kalau boleh biar saja kita
   kita mengucapkan yang
   paling diam

soalnya berapa lama kita harus demam?
inilah yang tinggal

1986

Enam buah puisi yang saya siarkan di atas akan memandukan akan tulisan ini. Bagi saya bukan soal komunikatif yang dibicarakan, apa yang lebih penting adalah muasal dan pemikiran besar yang dilontarkan. Memang bagi penulis revolusineer, ia membabat semua lokaliti lama ( unfamiliar ) untuk membena yang baru. Dan kesan audien akan tampak kaget lantas melancarkan serangan tentang butuh-butuh yang perlu dalam puisi. Gegerannya kadangkala bisa mematikan semangat sang revolusineer tadi. Dan gejala yang sama timpas pada Suhaimi Haji Muhamad.

Pengkaji mendapati Suhaimi telah melarikan diri dari kebiasaannya ini sejak kumpulan puisi Rontgen ( 1963 ) yang memperlihatkan penyimpangan atau pemesongannya yang ketara. Pemesongan ini menurut Victor Shklovsky adalah satu teknik defamiliarization yang menghampiri bentuk-bentuk kabur ( Robert Scholes, 1977 ) Oleh yang demikian, Suhaimi pantas terus dikatakan penyair yang penyimpang. Lihat saja sajaknya Waktu Keluar, Suhaimi menulis;

aku kamar
    di dalamnya mundar-mandir darah mengilat

Amat tidak biasa, bagi pembaca yang dihadapkan dengan tokoh, ' aku kamar '. Kamar adalah tempat tidur untuk istirahat dan menenangkan fikiran. Namun apabila, aku kamar/ di dalamnya mundar-mandir darah mengilat, ini sudah mengkontradiksi peranan ' kamar '. Kerana selepasnya ditulis, aku kelam/ mengalir tanpa henti sungai mawar yang remaja. Lihat, bagaimana kontradiksi dua eleman kamar dan kelam. Kamar dihias dengan mundar-mandir darah mengilat, sebaliknya, kelam merupakan sungai mawar yang remaja. Kalau aku merenung keluar jendela/ yang kulihat suara pohon yang gementar. Lihat, bagaimana, kamar, kelam bersatu dalam melihat natijah di luar jendela yang mempunyai impak pohon gementar.

Suhaimi seakan bermain dengan pilihan kata. Pertama, kamar, kedua, kelam. Dua objek ini diberi sorotan yang sama iaitu memandang keluar jendela. Natijahnya, pohon gementar. Di sini telah tersisih kelam yang membawa aroma sungai mawar yang remaja. Apabila dalam rangkap seterusnya, demi panas aku pun keluar/ kuingin membacakan sekeping cermin yang tua. Siapa ' aku ' di sini? Kamar atau kelam. Dua watak ini bertentangan. Seterusnya, kalian yang menunggu/ masih ada selaput bunga di padang itu. Apabila kau menolak semuanya. Yang kedapatan di sini ialah sekeping cermin tua. Tua tidak sesuai dengan sungai mawar yang remaja. Di sini tokohnya adalah kamar. Selaput bunga di padang. Ini tidak jelas. Yang akhirnya menolak semua keputusan. Memang tidak cocok mengulas stanza demi stanza namun akhirnya kita rumus. Rumusan menyeluruh, ada kontradiksi batin. Penyair menyimpulkan kamar dan kelam. Kalau dilihat daripada pemilihan kamar ia menunjukkan kejantanan dan kelam menunjukkan ketidakmampuan. Cerita ini adalah objek kemandulan hasrat dan permintaan.


Sejak tahun 50an lagi, puisi telah mendapat sorot yang sangat hebat. Misalnya ada pertanyaan, apa tujuan menulis sajak? Asmara menjelaskan sebuah sajak yang baik dan bernilai tinggi adalah sajak yang membawa isi yang padat dan pemakaian bahasa yang mudah. ( Zain Asmara, 1953 ) Namun kemudiannya saranan ini seakan tidak dipatuhi oleh kumpulan yang menamakan penyair kabur iaitu Noor S.I., A.S. Amin dan M. Ghazali. ( Sejarah Kesusasteraan Melayu Moden, Hashim Awang, 2003 )

Dalam puisi seterusnya, Surat, ternyata ia lebih difahami. Surat menyatakan,

soalnya aku tak izinkan tetes sinarku menjadi
ikan baru naik ke pantai

( maknanya perjuangan penyimpangan penyair ini tidak akan kelemasan - dibayangkan dengan ikan naik ke pantai )

Aku tak ingin batu mawarku menjadi rusa hijau
kambing hijau di sana

( Penyair tidak mahu penyimpangan itu akan menjadi hiasan juga tidak mahu menjadi pelarian semata )

...
surat ini kubuat tanggal

( Resolusi bahawa penyimpangan ini  menjadi azimat buat penyair )

Dari enam buah sajak yang saya paparkan ini, menjadi bukti kukuh penyimpangan kepenyairan Suhaimi Haji Muhamad dalam dunia kepenyairan tanah air ( Malaysia ) Karya-karyanya, sama ada rumit ataupun mudah ( Suhaimi mengistilahkan puisi mudah ini, puisi sampah ) pada perkiraan saya bersesuaian dengan interpritasi penghayatnya. Bagi saya, tiada puisi mudah atau puisi payah. Sekiranya ia rumit untuk ditafsirkan, bagi penghayatan serius, ia akan membaca berulang-ulang, mencari kata dasar dan ruang waktu. Hingga tempat, tarikh dan segala data sampingan diperlihatkan untuk menyokong ulasan. Bagi saya, penyair berdiri di kutubnya yang sendiri. Bisa membagi-bagikan kerumitan dan kelainan sebagai seorang pentafsir, pemikir sekaligus seorang pendombrak. Lihat saja Sutardji Calzoum Bachri, lontaran kata-kata bagai beliung dan halilintar. Di Malaysia, Abdul Ghafar Ibrahim, ber Tak Tun dengan bunyi hingga dikenal sebagai penyair 3V ( visual, verbal dan vokal )
Puisi bertindak sewajarnya. Kitalah pencari maknanya yang setia.


rujukan

1. Dewan Sastera ( September, 1986 )
2. Pengalaman Puisi ( Muhamad Haji Salleh. 1984 )
3. Mencipta Masyarakat Baru, ( Virginia Matheson Hooker, DBP, 2000 )

No comments:

Post a Comment