Thursday, June 23, 2011

PENGUCAPAN TABU SEKSUALITAS DAN PENULIS WANITA INDONESIA

Djenar Maesa Ayu
Sejarah kemunculan penulis wanita di Indonesia dikesan seawal tahun 1930-an, melalui novel Kalau Tak Untung karya Selasih dan Kehilangan Mestika karya Hamidah. Ketika itu hanya beberapa novel dan cerpen saja yang ditulis oleh penulis seperti Titie Said, Titis Busino, Tjahjaningsih, NH Dini, La Rose, Yati Maryati Mihardja dan lain-lain bertambah subur ( Hellwig, 2003 )  Pada tahun 1998, apabila berlakunya eforia politik pasca kejatuhan Suharto, ia membawa pengaruh besar terhadap industri penerbitan buku serta pengucuran deras ekspresi penulis-penulis muda wanita. Karya mereka telah membawa mainstream dan trend baru kepada perkembangan sastra Indonesia. Mainstream yang hadir secara kontradikatif, muncul tema-tema sastra erotis yang sangat berani membongkar tabu-tabu seksual masyarakat.

Secara tematiknya, seksualitas bukanlah hal yang baru dalam dunia sastra Indonesia. NH Dini pada tahun-tahun 1970-an telah menulis Pada Sebuah Kapal ( 1973 ) sebuah novel yang banyak menceritakan tentang wanita, mengekspresi dan mengekplotasi keterbukaan seksual. Walau pun NH Dini hanya mengulang apa yang ditulis oleh penulis lelaki, namun sebagai seorang wanita ekspresi NH Dini terhadap seksual dikira penampilan yang berani. Dalam tempoh kebrandelan kasus politik 1998 di Indonesia, menelorkan Ayu Utami, sosok penulis wanita yang mendobrak sastra Indonesia dengan tabu seksual secara radikal dalam novelnya, Saman. Sebuah karya yang di dalamnya mengalir deras dengan kosa-kata seperti sanggama, penis, klitoris, vigina, orgasme seenaknya saja. Novel Saman telah diangkat sebagai pemenang sayembara ( 1998 ) dan muncul sebagai best-seller. Ia diikuti oleh Larong, sebagai kesinambungan Saman ( 2001 ) yang menjadi fenomina dan insprirasi penulis wanita berikutnya, menulis dengan lebih terbuka.

Ayu dilihat lebih berhasil menciptakan representasi seksualitas yang berbeda dan lebih kewanitaan dari karya-karya sebelumnya ( Bandel, 2005 ) jauh dan nilai heteronormatif dan felosentris. Dewi Lestari melalui novelnya Supernova ( 2002 ) dan Djenar Maesa Ayu dengan kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet ( 2002 ) dan Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu ( 2004 ) lebih brutal. Nova Rianti Yusuf melalui novel Maha Dewa Maha Dewi dan Herlinanties dengan Garis Tepi Seorang Lesbian. Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu sarat dengan manusia terluka, marginal dan dikhianati. Seks menjadi lingkung brutal dan ekstrem. Dalam cerpen Menyusu Ayah, Nayla sejak kecil menyusu penis ayahnya yang kemudian melebar menyusu pada penis teman-teman ayahnya pula. Ketika salah seorang teman ayahnya meraba dada dan kemaluannya, ia merasa integritas dan diperkosa. Ia secara verbal kritikan penulis terhadap penindasan seksualitas gender.

Melalui Maha Dewa Maha Dewi, Nova melukiskan perhubungan seks Kako dan Reno si pasien dan psikiater rumah sakit jiwa dengan sangat terus dan panas. Malah Herlinanties yang merupakan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta menulis novel Garis Tepi Seorang Lesbian. Ia mengisahkan Paria yang gelandangan, bertualangan seksual dengan teman wanitanya sebelum menemukan pasangannya. Kenapakah ia terjadi begini? Keterbukaan, dunia wanita yang terdera begitu lama dan golongan order lama yang tidak terbuka antara punca ledakan tersebut. Dalam konteks budaya Indonesia, wanita dilarang berbicara kotor. Adalah sangat tidak wanita ( unwomanly ) pengarang wanita mengungkap dan mengekplotasi sensitiviti seksualitasnya.

Bertahun-tahun, pejuang sastra feminis seperti Helena Cixous, Julia Kristiva dan Luce Irigary, mendorong wanita membuka matanya menolak segala larangan dan tabu-tabu seksualitas. Namun budaya Indonesia terutamanya budaya Jawa, pelanggaran norma ini adalah penyimpangan dan terkeluar dari nilai-nilai luhur masyarakat dan budaya Indonesia. Kalau kita melihat karya-karya Pramoedya, lihatlah bagaimana wanita-wanita Jawa tersorok sebagai kanca wingking ( wanita dapur ) dalam sistem bangsawan feudal dan aristokratik. Pramoedya cuba mengeluarkan golongan ini seperti dalam Gadis Pantai dan tetrologi Bumi Manusia. Sistem feudal dan aristokratik memperan wanita sebagai penjaga nilai ' halus-kasar ' dan ' adiluhung ' dalam sebuah rumah ( keluarga ) Konsep budaya seperti inji telah dikonstraksikan oleh penguasa dan aristokrat feudal Jawa sejak berkurun-kurun lamanya melalui karya sastra Jawa. Karya-karya sastra Jawa ini umumnya ditulis oleh pujangga dan pengeran istana yang sudah tentu ' sangat laki-laki ' dan bias gendernya. Budaya Jawa mewajibkan wanita sempurna harus masak, macap ( dandan ) manak ( melahirkan anak ) Oleh itu ruang bagi wanita adalah dapur ( memasak ) sumur ( untuk membasuh ) dan kasur ( untuk kebutuhan seksual suami ) Semua resepi wanita Jawa ditulis dalam karya-karya Wulang Putri, Wulang Reh Putri, Serat Wulang Estri Candrarini, Candrarini, Canthini, Darma Wisata, Sutra Juwita ( Soedarsono, 1986 )

Oleh kerana itu, budaya Jawa tidak memungkinkan wanita Jawa mengungkap secara terbuka hal-hal tabu seperti aktivitas seksual, organ-organ seksual dalam perbicaraan. Wanita yang berbicara sedemikian dikira telah melanggar kesopanan, amoral dan tidak beradap. Dalam konteks budaya Jawa, aktivitas seksual adalah untuk laki-laki, kerana wanita adalah pelengkap untuk zuriat. Yang demikian, konsep orgasme adalah milik hakiki wanita yang harus tersorok dan tidak diperhitungkan.

Berkurun-kurun lamanya hal itu terkurung oleh tata keromo dan adiluhung ini sangat dijaga dan disanjung benar oleh laki-laki. Apabila terjadi keterbukaan, kemampuan yang ada pada penulis wanita seperti Ayu Utami. Djenar dan Dewi Lestari, secara bawah sadar perlawanan seksual itu muncul melalui karya. Karya-karya erotis wanita Indonesia itu merupakan ekspresi ketertindasan seksual yang selama ini tertutup rapi kerana tabu-tabu budaya. Kerana rata-rata penulis wanita Indonesia merupakan golongan terpelajar yang terdedah dengan weltanchooung dan woman-lip teori-teori feminis barat yang dipelopori oleh Julia Kristiva, Helana Cixous dan Luce Irigary, yang menyerukan ' tubuhmu adalah milikmu, maka tulislah ' menyemarakkan wanita menulis akan miliknya. Dunia tanpa batas yang semakin menipis beda seksual lelaki-wanita menyuarakan omongan tabu semakin tipis.

Bagi kita pembaca di Malaysia yang membaca karya-karya penulis wanita Indonesia baik prosa atau puisi, semakin teruja dengan kepolosan ungkapan tabu-tabu seksualitas ini. Misalnya penyair wanita seperti Dewi Nova, De Kemalawati, Zubaidah Djohar dan Yessika Susastra mengungkap kata-kata yang masih tabu dalam pendengaran pembaca Malaysia. Kosa-kata seperti bersetubuh, selangkangan, bibirmu di mulut tempat aku dilahirkan, bibirmu di antara pahaku, adalah kata-kata tabu yang masih tidak enak didengar oleh lelaki atau wanita apatah lagi kanak-kanak. Jadi, saya dapati kata-kata tabu seksualitas ini bukan hanya diungkap oleh Ayu Utami, Djenar atau Dewi Lestari tetapi penulis wanita yang lain. Malah dengan adanya fesbuk dan halaman sesawang yang lain, keterbukaan tabu seksualitas ini semakin tidak bisa dikawal bukan hanya lontaran kata-kata tetapi juga dengan visualnya juga.


rujukan

Cahyaningrem Dewojati, Prosiding  Persidangan Antarabangsa Pengajian Melayu, 2006
Ayu Utami, Saman, Gramedia, 2001
________, Larong, Gramedia, 2003
Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang, Saya Monyet, Gramedia, 2003
______________, Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu, Gramedia, 2004

1 comment: