Dalam Merantau ke Deli,
jelas sekali ideologi dan pandangan dunia Hamka, sekaligus
nasionalismenya. Dapatkah kita membaca apa yang ingin disampaikan Hamka
dalam novel itu melalui kegagalan perkawinan tokoh Leman dan Mariatun,
gadis sekampungnya, dan, sebaliknya, malah bahagia dalam perkawinannya
bersama Poniem, gadis imigran dari Jawa yang sederhana an suka bekerja
keras? Jelas sekali bahwa Hamka mengeritik eksklusifisme perkawinan
Minangkabau dalam Merantau ke Deli.
Sampai
sekarang, sejauh yang saya tahu, hanya dua orang pengarang Minangkabau
yang mencoba menyampaikan pesan nasionalisme Indonesia melalui hubungan
perkawinan antaretnis. Mereka adalah Adinegoro dan Hamka. Adinegoro
memperlihatkan hal ini dalam hubungan perkawinan antaretnis antara
Nurdin ( Minangkabau ) dan Rukmini ( Sunda ) dalam Darah Muda ( 1927 ). Tema yang sama digarap lagi oleh Adinegoro dalam novelnya Asmara Jaya ( 1928 ) melalui hubungan perkawinan antar etnis antara Rustam yang Minangkabau dan Dirsina yang Sunda. ( Suryadi, 1999 )
Saya mulakan pandangan ini, untuk melihat Rinai Kabut Singgalang
karya Muhammad Subhan. Subhan memang menggunakan jalur penceritaan
Hamka untuk menulis roman pertamanya ini sebagai jalur anak Minang.
Subhan lahir Medan dan mempunyai jurus Medan-Aceh. Menurut biodatanya
dan setelah saya meneliti tampang kendirinya seorang Subhan, memang
layaklah beliau menulis seperti gaya roman Hamka karena tidak semua
penulis bisa bertahan dan berlama-lama menyampaikan klimaks yang
bertele-tele dalam menulis novel. Nyata Rinai Kabut Singgalang adalah sebuah roman dan bukannya novel seperti dalam pengertiannya pada hari ini.
Rinai Kabut Singgalang
mengisahkan pertualangan Fikri, anak Medan-Aceh yang berpetualangan
sampai ke Padang. Ayahnya Munaf dan ibunya Maimunah. Kisah ayahnya yang
pulang ke Aceh apabila mengahwini ibunya dari Kajai tanpa restu
keluarga. Kawin lari ini menyebabkan Maimunah terbuang daripada marga
dan salasilah keluarganya. Ayah dan ibu Maimunah yang malu dan menderita
dengan perkawinan lari Maimunah, akhirnya meninggal dunia. Hanya
mamaknya, mak Safri iaitu kakak ( abang ) Maimunah yang masih bertahan.
Kepada mamaknya inilah Fikri diharapkan akan membawa kejernihan yang
terpalit oleh perbuatan Maimunah. Perkawinan Munaf dan Maimunah
menghasilkan 3 orang anak iaitu Fikri dan 2 adik perempuannya. Kehidupan
yang miskin menyebabkan Fikri tidak mendapat pendidikan yang
sepatutnya. Munaf kemudiannya meninggal dunia karena sakit yang
dialaminya. Adik-adiknya telah berkawin dan hanya tinggal Fikri yang tak
ketahuan arah hidupnya. Fikri bercita-cita untuk melanjutkan pelajaran
ke peringkat tertinggi sehingga ia merantau ke Padang. Dalam
perjalanannya ke Padang, Fikri bertemu mamaknya Mak Safri yang akhirnya
meninggal dunia karena dikhianati oleh pemuda-pemuda kampung yang
tercabar dengan kehadiran Fikri di kampung mamaknya itu.
Fikri
meneruskan perjalanannya ke Padang hingga terjadi musibah, Fikri
tercedera dikelar perampok. Perutnya disabit dengan pisau. Dengan
pertolongan ibu angkat, Mak Aishah, Fikri dirawat di rumah sakit
ditemani anak ibu angkatnya itu, Rahima. Terjadilah percintaan antara
keduanya. Tapi cinta terhalang apabila Rahima dikawinkan oleh kakaknya
dengan pemuda Jakarta. Kekecewaan menyebabkan Fikri mengarang roman ' Merantau ke Padang '. Romannya itu meroket dan laku manis. Merantau ke Padang
dijadikan film. Fikri sukses besar dan berjaya menggembalikan Rahima ke
pangkuannya karena Rahima sudah menjanda. Namun dalam kecelakaan
pesawat udara di Padang, Fikri cedera parah yang akhirnya meragut
nyawanya. Rahima juga akhirnya mengikut Fikri meninggalkan dunia fana
ini. Begitu Subhan menulis roman Rinai Kabut Singgalang menantang arus fiksi abad 21. Subhan kembali menyelusuri roh Hamka dengan romannya yang mendambakan air mata.
Hamka,
jelas berada di garis depan dalam pemikiran kawin campur ini. Ini dapat
dilihat dalam hubungan perkawinan antaretnis yang cukup mencolok antara
tokoh Poniem ( Jawa ) dan Leman ( Minangkabau ) dalam Merantau ke Deli ( 1939 ). Hubungan ketua tokoh dari etnis yang berbeda ini sangat menentukan alur cerita novel ini. Setting novel
ini adalah daerah Deli dan Medan pada zaman sebelum perang. Leman
adalah salah seorang perantau Minang yang mengadu nasib di daerah Deli
yang sedang berkembang karena dibukanya onderneming-onderneming tembakau
oleh Belanda. Dan Poniem adalah buruh dari Jawa yang datang ke Deli
karena hal yang sama; berkembangnya ekonomi Deli akibat pembukaan onderneming-onderneming perkebunan besar di daerah itu.
Poniem
adalah salah seorang langganan tetap Leman yang menjadi pedagang
keliling. Akibat sering bertemu, kedua makhluk Tuhan yang berbeda suku (
tapi satu agama ) itu saling jatuh cinta dan akhirnya memutuskan untuk
menikah. Banyak perantau Minang di Deli yang menilai pernikahan
antaretnis itu amat berani. Biasanya orang Minang kawin sesama orang
Minang. Leman telah melanggar sebuah kelaziman. Pernikahan itu membuat
pasangan Leman-Poniem berbahagia. Mereka giat bekerja, dengan modal
tenaga sendiri. Rumah tangga mereka bahagia.
Namun
kebahagiaan itu yang menjadi awal petaka rumah tangga Leman-Poniem.
Sebagaimana umumnya tipikal inti konflik rumah tangga Minang, orang
ketiga – biasanya salah satu dari pihak keluarga laki-laki atau
perempuan — campur tangan untuk mengganggu keharmonisan itu. Demi
mendengar Leman dan Poniem hidup bahagia di Deli, keluarga Leman di
kampung datang ke sana dengan maksud untuk mengawinkannya lagi dengan
gadis sekampungnya. Akhirnya, Leman dipaksa oleh keluarganya kawin lagi
dengan Mariatun, gadis sekampung yang masih punya hubungan keluarga
dengannya, pilihan familinya sendiri. Perkawinan itu akhirnya membawa
kesengsaraan kepada diri Leman.
Melalui Merantau ke Deli,
Hamka tidak saja mengeritik Minangkabau dari dalam, tetapi juga mulai
memperkenalkan kemungkinan menciptakan Indonesia yang ‘ utuh ’ melalui
pembauran antaretnik melalui hubungan perkawinan, Bagi Hamka agama yang
penting; biar berlain etnis, asal sama-sama Islam boleh menikah, asalkan
itu membawa kebahagiaan. Perkawinan antara sesama Minang belum tentu
menjamin kebahagiaan.
Banyak
novelis Indonesia yang bersikap ekslusif, ‘ bakaluntun-puntun ’ dalam
labirin adat etnisnya sendiri. Hamka menunjukkan kecenderungan
sebaliknya. Mungkin karena sejak muda beliau sudah mengenyam udara
rantau dan bergaul rapat dengan intelektural bumiputera dari berbagai
etnis lain. Nasionalisme keindonesiaan melalui hubungan perkawinan
antaretnis dalam karya sastra kembali diperlihatkan Hamka melalui tokoh
Zainuddin ( yang dari sudut pandang Minangkabau dianggap suku Bugis
karena ayahnya dari Minang tapi ibunya dari Bugis ) dan Hayati gadis
Minangkabau dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.
Berbeda dengan Adinegoro yang mengakhiri roman-romannya dengan happy ending, kedua-dua roman Hamka berakhir dengan kesedihan. Baik Leman dalam Merantau ke Deli mahupun Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk,
hidup sengsara dan merana. Ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa dari
segi budaya, masih diperlukan perjuangan yang kuat dan berterusan untuk
mewujudkan bangsa Indonesia yang berbilang puak itu, yang melihat antar
sesamnya dalam posisi setara. Hamka, melalui roman-romannya, seolah
mengisyaratkan betapa kebhinnekaan dalam pluralisme budaya Indonesia
yang berbilang suku itu masih dalam proses pematangan dan oleh karenanya
harus terus diperjuangkan ( Suryadi, ibid )
Apakah yang didedahkan oleh Hamka juga diikut miris oleh Subhan. Apakah yang mahu disampaikan oleh Subhan melalui Rinai Kabut Singgalang
ini? Mahu mengatakan bahwa perkawinan antaretnis menghapuskan nilai
keminangkabauan atau mahu hanya mengekor imbauan lirik Hamka yang unik
ini. Memang di dalamnya ada kritik mengenai keterlajakkan penulis muda
menulis novel yang begitu berbeda dengan Hamka. Atau Subhan sekedar mahu
mengembalikan nostalgia umum kepada kenangan Hamka. Atau mahu
menyatakan bahwa inilah patent karya penulis Minang yang tidak
luput dengan alam, agama dan cinta. Saya juga melihatnya, latar cerita
ini juga adalah latar yang baru sekitar tahun 1995 hingga ke 2005 karena
telah berlakunya tragedi tsunami di Aceh. Cerita yang berdasarkan
faktual dan imaji digaul cukup ranum hingga kita jadi selera membacanya.
Sebagai sebuah karya roman dalam kebejatan aliran evant-garde sekarang, Rinai Kabut Singgalang adalah
sosok lain yang menggembirakan. Kini, bertanyalah lagi para pengunjung
lapau ini yang telah memutuskan memilih pasangan hidupnya dari etnis
yang bukan Minang atau kekal tradisi, pilih yang minang saja.. Apakah sumando yang bukan Minang itulah ditarimo elok dek dunsanak di kampuang? Terasa enaknya membaca roman yang telah lama ditinggalkan rancak dan iramanya...
No comments:
Post a Comment