Thursday, February 6, 2014

RINAI KABUT SINGGALANG KARYA MUHAMMAD SUBHAN

 
Dalam Merantau ke Deli, jelas sekali ideologi dan pandangan dunia Hamka, sekaligus nasionalismenya. Dapatkah kita membaca apa yang ingin disampaikan Hamka dalam novel itu melalui kegagalan perkawinan tokoh Leman dan Mariatun, gadis sekampungnya, dan, sebaliknya, malah bahagia dalam perkawinannya bersama Poniem, gadis imigran dari Jawa yang sederhana an suka bekerja keras? Jelas sekali bahwa Hamka mengeritik eksklusifisme perkawinan Minangkabau dalam Merantau ke Deli.


Sampai sekarang, sejauh yang saya tahu, hanya dua orang pengarang Minangkabau yang mencoba menyampaikan pesan nasionalisme Indonesia melalui hubungan perkawinan antaretnis. Mereka adalah Adinegoro dan Hamka. Adinegoro memperlihatkan hal ini dalam hubungan perkawinan antaretnis antara Nurdin ( Minangkabau ) dan Rukmini ( Sunda ) dalam Darah Muda ( 1927 ). Tema yang sama digarap lagi oleh Adinegoro dalam novelnya Asmara Jaya ( 1928 ) melalui hubungan perkawinan antar etnis antara Rustam yang Minangkabau dan Dirsina yang Sunda. ( Suryadi, 1999 )

Saya mulakan pandangan ini, untuk melihat Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan. Subhan memang menggunakan jalur penceritaan Hamka untuk menulis roman pertamanya ini sebagai jalur anak Minang. Subhan lahir Medan dan mempunyai jurus Medan-Aceh. Menurut biodatanya dan setelah saya meneliti tampang kendirinya seorang Subhan, memang layaklah beliau menulis seperti gaya roman Hamka karena tidak semua penulis bisa bertahan dan berlama-lama menyampaikan klimaks yang bertele-tele dalam menulis novel. Nyata Rinai Kabut Singgalang adalah sebuah roman dan bukannya novel seperti dalam pengertiannya pada hari ini.

Rinai Kabut Singgalang mengisahkan pertualangan Fikri, anak Medan-Aceh yang berpetualangan sampai ke Padang. Ayahnya Munaf dan ibunya Maimunah. Kisah ayahnya yang pulang ke Aceh apabila mengahwini ibunya dari Kajai tanpa restu keluarga. Kawin lari ini menyebabkan Maimunah terbuang daripada marga dan salasilah keluarganya. Ayah dan ibu Maimunah yang malu dan menderita dengan perkawinan lari Maimunah, akhirnya meninggal dunia. Hanya mamaknya, mak Safri iaitu kakak ( abang ) Maimunah yang masih bertahan. Kepada mamaknya inilah Fikri diharapkan akan membawa kejernihan yang terpalit oleh perbuatan Maimunah. Perkawinan Munaf dan Maimunah menghasilkan 3 orang anak iaitu Fikri dan 2 adik perempuannya. Kehidupan yang miskin menyebabkan Fikri tidak mendapat pendidikan yang sepatutnya. Munaf kemudiannya meninggal dunia karena sakit yang dialaminya. Adik-adiknya telah berkawin dan hanya tinggal Fikri yang tak ketahuan arah hidupnya. Fikri bercita-cita untuk melanjutkan pelajaran ke peringkat tertinggi sehingga ia merantau ke Padang. Dalam perjalanannya ke Padang, Fikri bertemu mamaknya Mak Safri yang akhirnya meninggal dunia karena dikhianati oleh pemuda-pemuda kampung yang tercabar dengan kehadiran Fikri di kampung mamaknya itu.

Fikri meneruskan perjalanannya ke Padang hingga terjadi musibah, Fikri tercedera dikelar perampok. Perutnya disabit dengan pisau. Dengan pertolongan ibu angkat, Mak Aishah, Fikri dirawat di rumah sakit ditemani anak ibu angkatnya itu, Rahima. Terjadilah percintaan antara keduanya. Tapi cinta terhalang apabila Rahima dikawinkan oleh kakaknya dengan pemuda Jakarta. Kekecewaan menyebabkan Fikri mengarang roman ' Merantau ke Padang '. Romannya itu meroket dan laku manis. Merantau ke Padang dijadikan film. Fikri sukses besar dan berjaya menggembalikan Rahima ke pangkuannya karena Rahima sudah menjanda. Namun dalam kecelakaan pesawat udara di Padang, Fikri cedera parah yang akhirnya meragut nyawanya. Rahima juga akhirnya mengikut Fikri meninggalkan dunia fana ini. Begitu Subhan menulis roman Rinai Kabut Singgalang menantang arus fiksi abad 21. Subhan kembali menyelusuri roh Hamka dengan romannya yang mendambakan air mata.

Hamka, jelas berada di garis depan dalam pemikiran kawin campur ini. Ini dapat dilihat dalam hubungan perkawinan antaretnis yang cukup mencolok antara tokoh Poniem ( Jawa ) dan Leman ( Minangkabau ) dalam Merantau ke Deli ( 1939 ). Hubungan ketua tokoh dari etnis yang berbeda ini sangat menentukan alur cerita novel ini. Setting novel ini adalah daerah Deli dan Medan pada zaman sebelum perang. Leman adalah salah seorang perantau Minang yang mengadu nasib di daerah Deli yang sedang berkembang karena dibukanya onderneming-onderneming tembakau oleh Belanda. Dan Poniem adalah buruh dari Jawa yang datang ke Deli karena hal yang sama; berkembangnya ekonomi Deli akibat pembukaan onderneming-onderneming perkebunan besar di daerah itu.


Poniem adalah salah seorang langganan tetap Leman yang menjadi pedagang keliling. Akibat sering bertemu, kedua makhluk Tuhan yang berbeda suku ( tapi satu agama ) itu saling jatuh cinta dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Banyak perantau Minang di Deli yang menilai pernikahan antaretnis itu amat berani. Biasanya orang Minang kawin sesama orang Minang. Leman telah melanggar sebuah kelaziman. Pernikahan itu membuat pasangan Leman-Poniem berbahagia. Mereka giat bekerja, dengan modal tenaga sendiri. Rumah tangga mereka bahagia.


Namun kebahagiaan itu yang menjadi awal petaka rumah tangga Leman-Poniem. Sebagaimana umumnya tipikal inti konflik rumah tangga Minang, orang ketiga – biasanya salah satu dari pihak keluarga laki-laki atau perempuan — campur tangan untuk mengganggu keharmonisan itu. Demi mendengar Leman dan Poniem hidup bahagia di Deli, keluarga Leman di kampung datang ke sana dengan maksud untuk mengawinkannya lagi dengan gadis sekampungnya. Akhirnya, Leman dipaksa oleh keluarganya kawin lagi dengan Mariatun, gadis sekampung yang masih punya hubungan keluarga dengannya, pilihan familinya sendiri. Perkawinan itu akhirnya membawa kesengsaraan kepada diri Leman.


Melalui Merantau ke Deli, Hamka tidak saja mengeritik Minangkabau dari dalam, tetapi juga mulai memperkenalkan kemungkinan menciptakan Indonesia yang ‘ utuh ’ melalui pembauran antaretnik melalui hubungan perkawinan, Bagi Hamka agama yang penting; biar berlain etnis, asal sama-sama Islam boleh menikah, asalkan itu membawa kebahagiaan. Perkawinan antara sesama Minang belum tentu menjamin kebahagiaan.


Banyak novelis Indonesia yang bersikap ekslusif, ‘ bakaluntun-puntun ’ dalam labirin adat etnisnya sendiri. Hamka menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Mungkin karena sejak muda beliau sudah mengenyam udara rantau dan bergaul rapat dengan intelektural bumiputera dari berbagai etnis lain. Nasionalisme keindonesiaan melalui hubungan perkawinan antaretnis dalam karya sastra kembali diperlihatkan Hamka melalui tokoh Zainuddin ( yang dari sudut pandang Minangkabau dianggap suku Bugis karena ayahnya dari Minang tapi ibunya dari Bugis ) dan Hayati gadis Minangkabau dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.


Berbeda dengan Adinegoro yang mengakhiri roman-romannya dengan happy ending, kedua-dua roman Hamka  berakhir dengan kesedihan. Baik Leman dalam Merantau ke Deli mahupun Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, hidup sengsara dan merana. Ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa dari segi budaya, masih diperlukan perjuangan yang kuat dan berterusan untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang berbilang puak itu, yang melihat antar sesamnya dalam posisi setara. Hamka, melalui roman-romannya, seolah mengisyaratkan betapa kebhinnekaan dalam pluralisme budaya Indonesia yang berbilang suku itu masih dalam proses pematangan dan oleh karenanya harus terus diperjuangkan ( Suryadi, ibid )

Apakah yang didedahkan oleh Hamka juga diikut miris oleh Subhan. Apakah yang mahu disampaikan oleh Subhan melalui Rinai Kabut Singgalang ini? Mahu mengatakan bahwa perkawinan antaretnis menghapuskan nilai keminangkabauan atau mahu hanya mengekor imbauan lirik Hamka yang unik ini. Memang di dalamnya ada kritik mengenai keterlajakkan penulis muda menulis novel yang begitu berbeda dengan Hamka. Atau Subhan sekedar mahu mengembalikan nostalgia umum kepada kenangan Hamka. Atau mahu menyatakan bahwa inilah patent karya penulis Minang yang tidak luput dengan alam, agama dan cinta. Saya juga melihatnya, latar cerita ini juga adalah latar yang baru sekitar tahun 1995 hingga ke 2005 karena telah berlakunya tragedi tsunami di Aceh. Cerita yang berdasarkan faktual dan imaji digaul cukup ranum hingga kita jadi selera membacanya. Sebagai sebuah karya roman dalam kebejatan aliran evant-garde sekarang, Rinai Kabut Singgalang adalah sosok lain yang menggembirakan. Kini, bertanyalah lagi para pengunjung lapau ini yang telah memutuskan memilih pasangan hidupnya dari etnis yang bukan Minang atau kekal tradisi, pilih yang minang saja.. Apakah sumando yang bukan Minang itulah ditarimo elok dek dunsanak di kampuang? Terasa enaknya membaca roman yang telah lama ditinggalkan rancak dan iramanya...

No comments:

Post a Comment