Thursday, February 6, 2014

NEGERI KUNANG-KUNANG

 
Pada saya, Ridzuan Harun bukanlah nama yang sedia terukir manis di gelanggang pemuisian tanah air seperti Zaen Kasturi, Rahimidin Zahari, Shamsudin Othman atau Raihani Mohd Saaid. Ridzuan, biar pun namanya sesekali muncul, namun kemunculannya melalui ' Negeri Kunang-Kunang ' saya merasakan ia merupakan jelmaan Moechtar Awang. Moechtar Awang adalah satu nama besar yang dilahirkan dari sayembara Puisi Putra pada awal tahun 80-an dengan dua kumpulan puisinya, Pasrah dan Qaf. Malangnya, setelah harapan disangkutkan ke bahunya bagi menggalas kegemerlapan puisi Malaysia, Moechtar tenggelam begitu saja tanpa kubur, tanpa pusara. Kini, kebimbangan itu terpercik di hati saya dengan kehadiran Ridzuan Harun. Tanpa berharap atau berpesan, saya pasrahkan Ridzuan Harun pada hujan dan angin, pada bulan dan bintang, agar ' negeri kunang-kunang ' nya sebagai perintis ke jalan gemerlap di hadapan.

Ridzuan Harun dilahirkan pada 1 Jun 1975 di Pokok Sena, Yan, Kedah. Memperoleh Bechelor Sastera dalam Pengkhususan Bahasa dan Linguistik Melayu, Universiti Putra Malaysia pada tahun 2000. Kini sebagai dosen di Fakultas Penulisan Kreatif, Akademi Seni Budaya dan Warisan Malaysia. Negeri Kunang-Kunang telah dinobat sebagai Pemenang Utama Sayembara Penulisan ITBM-Pena-BH bagi kategori penulis berumur bawah 45 tahun dalam genre puisi. Terdapat 56 buah puisi yang dipenggal dalam dua bahagian iaitu Negeri Kunang-Kunang ( 22 buah puisi ) dan Sepi Yang Paling Jauh ( 34 buah puisi ) Pembagian ini memudahkan bagi beliau memperinci pemisahan yang ketara. Dalam Negeri Kunang-Kunang, topik puisinya berlatarbelakang perenungannya terhadap alam dan lingkungannya. Sementara dalam Sepi Yang Paling Jauh menyentuh sikap dalam diri penyair yang mengakrap menjatahi  lekuk dan laluannya dalam merencana kehidupan sehari-hariannya. Jatah kedua-duanya, kita akan dapat variasi yang amat pelbagai, kudus dan sekaligus amarahnya.

Dipersetujui atau tidak, fokus puisi Malaysia akan selalu berbalik kepada Usman Awang, Latif Mohidin, Muhammad Haji Salleh, Zurinah Hassan dan Kemala. Kitaran ini sudah sebati untuk diubah. Seperti juga kalau kita membincangkan puisi Indonesia, nama Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Rendra, Sapardi Djoko Damono susah dipisahkan. Menemukan penyair baru, lahan keterbalkan nuansanya pasti kepada mereka. Ridzuan Harun terasa mirisnya kepada pengucapan Latif Mohidin. Bedanya, Latif melalui mengucapan surealisme dan Ridzuan agak realisme. Terutama pada lahan kedua Sepi Yang Paling Jauh. Ini diakui oleh penyairnya sendiri, katanya; saya menyenangi Sepi Yang Paling Jauh, karena di situlah jalan kesementeraan akan ditinggalkan ( 2013: xi )

Dalam ' Panji Serumpun ' Ridzuan menuliskan begini;

segara yang memisahkan ini
tidaklah terlalu luas dan dalam
ia menjadi saksi rumpun kita
sejak lama

sejarah menjadi terlalu mahal
dan kita tidak jemu-jemu
membalik lembar demi lembar
yang mengasuh kita sejak lama

seperti segara ini
yang adakalanya sangat indah dan tenang
terkadang berombak keras dan ganas
begitu jualah hati dan fikiran kita
ada tikanya tenteram dan cerah
ada waktunya muram dan kelabu

Saya merasa penyair mempunyai kesadaran yang tinggi atas adanya batas geografi politik dan alam jiwa. Induk dan susunsanak kita yang bertebaran dari ras yang pelbagai di nusantara ini. Atas sempadan negeri dan negara, kita terputus hubungan tetapi tali silaturahmi, mana mungkin akan terputus begitu saja. Inilah rasa getar yang kental di dalam jiwa penyair seperti dilanjutkan dalam bait berikut;

hati dan perasaan kita
seringnya dicemar dan dikotori siasah
dan demi itu juga
kita adakala mudah benar tersentak
murka dan langsung terluka

Penyair-penyair besar selalu memandang ke hadapan tentang visi, misi dan hujahan akalnya. Lihatlah bagaimana sajak-sajak Muhammad Haji Salleh merentang akal dan batas negara. Sepertimana Muhammad mengungkapkan dalam sajak, Sekarang Masanya ( 1978: 1 )

sekarang masanya
untuk berlalu
dan tinggalkan apa saja yang
tak mungkin dibawa
kerana kita tak akan di sini lagi
menjemput ke belakang
ialah meraba bunga kering
jadi sekarang kita putuskan
makna kekinian kini, di sini
atau kita akan di sini saja

Suara Muhammad tidak sendirian saja. Ia disambut oleh penyair senusantaranya yang lain, Linus Suryadi dalam ' Penyair ' ( 1987: 408 )

aku terah terbuka perlahan-lahan, seperti sebuah pintu, bagiku
satu per satu aku buka, bagai daun-daun pintu
hingga akhirnya tak ada apa-apa lagi yang bernama rahasia
begitu sederhana: sama sekali terbuka
dan engkau akan selalu menjumpai dirimu sendiri di sana
benih yang telanjang, tanpa asap dan tirai yang bernama rahasia
jangan terkejut: memang dirimu sendirilah yang kaujumpa
di pintu yang terbuka itu, begitu sederhana
jangan gelisah, itulah tak lain engkaumu sendiri
kenyataan yang paling sederhana tapi barangkali yang menyakitkan
hati
aku akan selalu terbuka, seperti sebuah pintu, lebar-lebar bagimu
dan engkau pun masuk, untuk mengenal dirimu sendiri di sana

Bagi penyair yang sebata alam ini, jendela adalah keutamaannya dalam membenahi kehidupan barunya. Seperti katanya, setiap pagi ketika saya datang ke pejabat ( kantor ) dan membuka pintu pejabat, perkara pertama yang sering saya lakukan ialah menyelak jendela dan menghalakan wajah ke alam di luar sana. Walau pun dalam serkup Padang Merbuk yang kecil di pinggiran kampus Aswara, namun ia selalu memberi bekas serta menghadirkan ilham yang bukan sedikit ( opcit: x ) Penyair kembara Marzuki Ali pula menyatakan, kalimat ' baca ' yang merupakan ayat wahyu pertama diturunkan Allah ke muka bumi ini teresam bukan sekedar menyuruh manusia mengikut apa-apa yang diajarkan, mengamalkan apa-apa yang disuruh, menghayati alam yang maha luas dan permai ini, dan menyelusuri sekalian makna yang tersurat dan yang tersirat, akan tetapi lebih jauh sampai kepada pencarian diri dan menemukan peribadi langsung mendekatkan diri kepada Yang Maha Berkuasa ( 2013: xiv )

Barangkali ia akan di temui di sini, Di Stasiun Cikini, Lewat Senja ( hal.57 )

jarak yang jauh
menerbitkan benih rindu
pada tanah segugus cinta
pada rambut seorang wanita

musim di sini terasa terlalu sepi
sedang disini sebenarnya jauh
dengan aneka gaya pesona negara tetangga

Memang kerinduan akan segera terpercik ketika kita melangkah kaki ke tapal batas tanah air. Ridzuan memercikkan kerinduannya dalam sejumlah puisi yang rata-ratanya di negara tetangga, Indonesia. Ketika berjauhan dengan orang-orang yang disayangi, Ridzuan akan segera berpuisi. Intuisi berlegar. Narsisnya ini terluah dalam ' Bandung, Aku Larut Dalam Kesepian ( hal. 56 )

...
di tanah orang yang menawan
aku mula belajar berbangga
pada tanah airku sendiri
berdiri di dunia luar
mengajar aku mentafsir
bertuahnya menjadi warga tanah tercinta

Lantas saya menerka-nerka apakah sebenarnya Negeri Kunang-Kunang yang diilhamkannya? Tak lain pada saya, negeri yang berbalam-balam jauh yang sentiasa mempamitkan diri untuk menjamahnya, negeri tetangga yang penuh makna dan penuh cinta...

No comments:

Post a Comment