Pada
saya, Ridzuan Harun bukanlah nama yang sedia terukir manis di
gelanggang pemuisian tanah air seperti Zaen Kasturi, Rahimidin Zahari,
Shamsudin Othman atau Raihani Mohd Saaid. Ridzuan, biar pun namanya
sesekali muncul, namun kemunculannya melalui ' Negeri Kunang-Kunang
' saya merasakan ia merupakan jelmaan Moechtar Awang. Moechtar Awang
adalah satu nama besar yang dilahirkan dari sayembara Puisi Putra pada
awal tahun 80-an dengan dua kumpulan puisinya, Pasrah dan Qaf.
Malangnya, setelah harapan disangkutkan ke bahunya bagi menggalas
kegemerlapan puisi Malaysia, Moechtar tenggelam begitu saja tanpa kubur,
tanpa pusara. Kini, kebimbangan itu terpercik di hati saya dengan
kehadiran Ridzuan Harun. Tanpa berharap atau berpesan, saya pasrahkan
Ridzuan Harun pada hujan dan angin, pada bulan dan bintang, agar ' negeri kunang-kunang ' nya sebagai perintis ke jalan gemerlap di hadapan.
Ridzuan
Harun dilahirkan pada 1 Jun 1975 di Pokok Sena, Yan, Kedah. Memperoleh
Bechelor Sastera dalam Pengkhususan Bahasa dan Linguistik Melayu,
Universiti Putra Malaysia pada tahun 2000. Kini sebagai dosen di
Fakultas Penulisan Kreatif, Akademi Seni Budaya dan Warisan Malaysia. Negeri Kunang-Kunang telah
dinobat sebagai Pemenang Utama Sayembara Penulisan ITBM-Pena-BH bagi
kategori penulis berumur bawah 45 tahun dalam genre puisi. Terdapat 56
buah puisi yang dipenggal dalam dua bahagian iaitu Negeri Kunang-Kunang ( 22 buah puisi ) dan Sepi Yang Paling Jauh ( 34 buah puisi ) Pembagian ini memudahkan bagi beliau memperinci pemisahan yang ketara. Dalam Negeri Kunang-Kunang, topik puisinya berlatarbelakang perenungannya terhadap alam dan lingkungannya. Sementara dalam Sepi Yang Paling Jauh
menyentuh sikap dalam diri penyair yang mengakrap menjatahi lekuk dan
laluannya dalam merencana kehidupan sehari-hariannya. Jatah
kedua-duanya, kita akan dapat variasi yang amat pelbagai, kudus dan
sekaligus amarahnya.
Dipersetujui atau tidak, fokus
puisi Malaysia akan selalu berbalik kepada Usman Awang, Latif Mohidin,
Muhammad Haji Salleh, Zurinah Hassan dan Kemala. Kitaran ini sudah
sebati untuk diubah. Seperti juga kalau kita membincangkan puisi
Indonesia, nama Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri,
Rendra, Sapardi Djoko Damono susah dipisahkan. Menemukan penyair baru,
lahan keterbalkan nuansanya pasti kepada mereka. Ridzuan Harun terasa
mirisnya kepada pengucapan Latif Mohidin. Bedanya, Latif melalui
mengucapan surealisme dan Ridzuan agak realisme. Terutama pada lahan
kedua Sepi Yang Paling Jauh. Ini diakui oleh penyairnya sendiri,
katanya; saya menyenangi Sepi Yang Paling Jauh, karena di situlah jalan kesementeraan akan ditinggalkan ( 2013: xi )
Dalam ' Panji Serumpun ' Ridzuan menuliskan begini;
segara yang memisahkan ini
tidaklah terlalu luas dan dalam
ia menjadi saksi rumpun kita
sejak lama
sejarah menjadi terlalu mahal
dan kita tidak jemu-jemu
membalik lembar demi lembar
yang mengasuh kita sejak lama
seperti segara ini
yang adakalanya sangat indah dan tenang
terkadang berombak keras dan ganas
begitu jualah hati dan fikiran kita
ada tikanya tenteram dan cerah
ada waktunya muram dan kelabu
Saya
merasa penyair mempunyai kesadaran yang tinggi atas adanya batas
geografi politik dan alam jiwa. Induk dan susunsanak kita yang
bertebaran dari ras yang pelbagai di nusantara ini. Atas sempadan negeri
dan negara, kita terputus hubungan tetapi tali silaturahmi, mana
mungkin akan terputus begitu saja. Inilah rasa getar yang kental di
dalam jiwa penyair seperti dilanjutkan dalam bait berikut;
hati dan perasaan kita
seringnya dicemar dan dikotori siasah
dan demi itu juga
kita adakala mudah benar tersentak
murka dan langsung terluka
Penyair-penyair
besar selalu memandang ke hadapan tentang visi, misi dan hujahan
akalnya. Lihatlah bagaimana sajak-sajak Muhammad Haji Salleh merentang
akal dan batas negara. Sepertimana Muhammad mengungkapkan dalam sajak, Sekarang Masanya ( 1978: 1 )
sekarang masanya
untuk berlalu
dan tinggalkan apa saja yang
tak mungkin dibawa
kerana kita tak akan di sini lagi
menjemput ke belakang
ialah meraba bunga kering
jadi sekarang kita putuskan
makna kekinian kini, di sini
atau kita akan di sini saja
Suara Muhammad tidak sendirian saja. Ia disambut oleh penyair senusantaranya yang lain, Linus Suryadi dalam ' Penyair ' ( 1987: 408 )
aku terah terbuka perlahan-lahan, seperti sebuah pintu, bagiku
satu per satu aku buka, bagai daun-daun pintu
hingga akhirnya tak ada apa-apa lagi yang bernama rahasia
begitu sederhana: sama sekali terbuka
dan engkau akan selalu menjumpai dirimu sendiri di sana
benih yang telanjang, tanpa asap dan tirai yang bernama rahasia
jangan terkejut: memang dirimu sendirilah yang kaujumpa
di pintu yang terbuka itu, begitu sederhana
jangan gelisah, itulah tak lain engkaumu sendiri
kenyataan yang paling sederhana tapi barangkali yang menyakitkan
hati
aku akan selalu terbuka, seperti sebuah pintu, lebar-lebar bagimu
dan engkau pun masuk, untuk mengenal dirimu sendiri di sana
Bagi
penyair yang sebata alam ini, jendela adalah keutamaannya dalam
membenahi kehidupan barunya. Seperti katanya, setiap pagi ketika saya
datang ke pejabat ( kantor ) dan membuka pintu pejabat, perkara pertama
yang sering saya lakukan ialah menyelak jendela dan menghalakan wajah ke
alam di luar sana. Walau pun dalam serkup Padang Merbuk yang kecil di
pinggiran kampus Aswara, namun ia selalu memberi bekas serta
menghadirkan ilham yang bukan sedikit ( opcit: x ) Penyair
kembara Marzuki Ali pula menyatakan, kalimat ' baca ' yang merupakan
ayat wahyu pertama diturunkan Allah ke muka bumi ini teresam bukan
sekedar menyuruh manusia mengikut apa-apa yang diajarkan, mengamalkan
apa-apa yang disuruh, menghayati alam yang maha luas dan permai ini, dan
menyelusuri sekalian makna yang tersurat dan yang tersirat, akan tetapi
lebih jauh sampai kepada pencarian diri dan menemukan peribadi langsung
mendekatkan diri kepada Yang Maha Berkuasa ( 2013: xiv )
Barangkali ia akan di temui di sini, Di Stasiun Cikini, Lewat Senja ( hal.57 )
jarak yang jauh
menerbitkan benih rindu
pada tanah segugus cinta
pada rambut seorang wanita
musim di sini terasa terlalu sepi
sedang disini sebenarnya jauh
dengan aneka gaya pesona negara tetangga
Memang
kerinduan akan segera terpercik ketika kita melangkah kaki ke tapal
batas tanah air. Ridzuan memercikkan kerinduannya dalam sejumlah puisi
yang rata-ratanya di negara tetangga, Indonesia. Ketika berjauhan dengan
orang-orang yang disayangi, Ridzuan akan segera berpuisi. Intuisi
berlegar. Narsisnya ini terluah dalam ' Bandung, Aku Larut Dalam Kesepian ( hal. 56 )
...
di tanah orang yang menawan
aku mula belajar berbangga
pada tanah airku sendiri
berdiri di dunia luar
mengajar aku mentafsir
bertuahnya menjadi warga tanah tercinta
Lantas saya menerka-nerka apakah sebenarnya Negeri Kunang-Kunang
yang diilhamkannya? Tak lain pada saya, negeri yang berbalam-balam jauh
yang sentiasa mempamitkan diri untuk menjamahnya, negeri tetangga yang
penuh makna dan penuh cinta...
No comments:
Post a Comment