Sunday, May 22, 2011

AYU UTAMI MENGGESER PERSOALAN GENDER - SEKS

 Kalau tidak silap, kemunculan penulis wanita dalam novel Indonesia bermula sekitar tahun 1930an, bermula dari novel Kalau Tak Untung oleh Selasih dan Kehilangan Mestika oleh Hamidah ( Hellwig : 2003 ) Namun kemunculan penulis wanita di Indonesia terjelma pada tahun 1960an apabila nama-nama seperti La Rose, Titie Said, Titis Bastino, Tjahjaningsih dan  NH Dini mula menulis cerpen dan novel-novelnya.

Fokus penulisan mereka adalah kisah keluarga, percintaan dan kekuatan daya juang wanita di tengah cabaran semasa, hidup di tengah tantangan kehebatan sosiobudaya dan ekonomi terutamanya di bandar-bandar besar seperti Jakarta. Era ini adalah era paling cemerlang menghasilkan penulis wanita dan nama lain seperti Yati Maryati Mihardja dan lain-lain yang berkarya dengan berbumbukan romantisme.

Menjelang tahun 2000, setelah berlakunya etoria politik pasca era Soeharto pada tahun 1998, bertumpuk penerbit-penerbit besar seperti Gramedia, Mizan, Galang, Pustaka Anggerik, Gagasmedia dan banyak lagi menyediakan wadah untuk penulis-penulis. Belum lagi ditampung oleh koran dan majalah seperti Horison, Kompas, Republika, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat dan lain-lain yang menjebol karya-karya besar dari ledakan berekspresi oleh pemuka-pemuka sastra baru. Pertumbuhan ini dikobarkan dengan timbulnya kelompok Forum Lengkar Pena yang dianggotai Helvy Tiara Rosa bagi merekrut lebih 6000 penulis dari Indonesia mahupun Mancanegara. Hasilnya berduk-dukkan lahir penulis bermacam-macam citarasa. Antaranya yang paling menjebol pada era ini ialah Ayu Utami. Ketika suhu panas jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, Ayu melahirkan Saman ( Gramedia-Kalam, 2001 ) dan Larung ( Gramedia-Kalam, 2001 ). Novel ini menang Sayembara tahun 1998, menjadi sangat fenominal kerana karya ini dianggap berani membongkar tabu seksual secara radikal.

Seks menjadi tema utama cerita kepada novel Saman dan Larung. Perempuan-perempuan emarjis Sakuntala, Laila, Yasmin dan Cok diasiasasikan sebagai pelaku seks. Sakuntala digambarkan sebagai berkecenderungan biseksual, Laila jatuh cinta pada lelaki yang sudah beristeri tetapi berhubungan fantasi sadamasokis dengan bekas pastor. Dalam novel, seksualitas direprasantasikan secara provokatif. Kotakasa seperti sanggama, penis, vigina, klitoris, orgasaisme begitu kiprah menjadi latar vulgar pada setiap halaman.

Ayu benar-benar memanfaatkan teori fenimisme barat seperti Helena Gixous, Julia Kristina dan Luce Irigury. Misalnya Helena Gixous mengutarakan pada perempuan, Tubuhmu adalah milikmu, maka tulislah. Beliau juga berupaya menyusun formula untulk ekspresi feminisme dalam teks, terutamanya feminisme seksualitas sebagai SEKS T ( Sugiarti: 2004 ) Kalau anda berkesempatan melihat Ayu dalam koleksi catatannya, Seks, Sketsa dan Cerita dalam Si Parasit Lajang ( Gugusmedia, 2003 ) anda akan berpikiran Ayu menjeblos jungkirbarat seks, gender dan dunia vital yang sangat spontanis dan berdodor seks-sekskan. Belum  lagi dengan ilustrasi Ayu telanjang, selangkangan, tetek dan tempat-tempat sulit lainnya. Bila Ayu ngomong, " Tidak boleh ngomong-ngomong sambil bersetubuh. Tidak boleh saling melihat ' barang ' pasangannya. Orang lahir bisu kerana orang tuanya mencium tempat itu ( kelamin ) lahir budeq. ( Si Parasit Lajang, hal. 71 ) Juga ditulisnya, pakai kondom tidak enak kerana ketika mengulum penis dengan kondom yang mengandungi spermasida, tentu ngak enak, pahit! ( hal. 50 ) Ungkapan-ungkapan sedemikian menjalar juga pada puisi Dewi Nova Wahyuni. Misalnya, bait yang berbunyi " tika bibirmu menciumi antara pahaku "  atau " ketika bibirmu mencium pintu di mana aku dilahirkan " sangat lugas dan berantatiuskan alat kelamin. Memang alat-alat seks ini ditonjolkan sedemikian rupa oleh penulis wanita ini. Djenar Measa Ayu dalam cerpennya Menyusu Ayah digambarkan anaknya menyusu pada penis ayahnya. Kemudian berganti-ganti kepada penis teman-teman ayahnya. Ketika vigina dan teteknya diraba, dia rasa diperkosa. Rutinnya menyusu pada penis ayahnya adalah biasa bukan kerana seks. Sungguh di luar dugaan imaginasi penulis wanita ini.

Penyair kondan Indonesia, Taufiq Ismail, menyifatkan penghasilan karya sedemikian dimulai oleh penulis wanita seksi, Ayu Utami lewat novelnya Saman dan teks berkenaan dianggap tidak sesuai untuk mewarnai kesusasteraan Indonesia. Bagaimana pun, Taufiq tidak menyalahkan Ayu Utami, sebaliknya meletakkan situasi itu sebagai tindak balas perubahan mendadak masyarakat Indonesia selepas ditekan oleh demokrasi terpimpin ketika pemerintahan bekas Presiden Indonesia, Soeharto. Selama 40 tahun rakyat Indonesia tidak bebas mengkritik pemerintah melalui media massa dan takut memperkatakannya secara terbuka, hatta di warung kupi kerana bimbang ditahan oleh pengintip rahasia.

" Novel Ayu Utami berjaya dan jaguh dalam kebebasan ekspresi mengatakan ini adalah kebebasan kreatif manakala golongan yang menantang memberi alasan karya sedemikian tidak sesuai dibaca oleh kanak-kanak " kata Taufiq Ismail. Beliau yakin reformasi pada 1998 bukan saja menyaksikan rakyat Indonesia bangkit menentang pemerintah malah mengakibatkan lahirnya akhbar tanpa permit sehingga menjadi capaian melampau yang membolehkan sesiapa saja dikecam. Lahir tabloid yang memaparkan foto lucah, narkoba berleluasa. Enam juta anak-anak Indonesia menagih narkoba. Cereka padat video lucah dijual di tepi jalan dengan harga Rp5,000. Indonesia menjadi surga pornografi yang murah di dunia, tambahnya. Namun Taufiq percaya karya seumpama ini tidak akan terus menguasai pasaran kerana lumrahnya benda-benda tabu seumpama itu tidak akan kekal lama. Nyatanya memang benar kerana hari ini karya-karya Islamik begitu merata di Indonesia atau Malaysia yang juga telah mulai meloyakan untuk dibaca.

Begitulah perjalanan kesusastraan di Indonesia yang kesannya sangat rapat dengan negara-negara jirannya termasuk Malaysia. Sesungguhnya sastra pamrih untuk kesejahteraan. Sastra juga petunjukan umat dan rakyat. Jadi, berpada-padalah menulis kesusastraan.

No comments:

Post a Comment