HIKAYAT PRANG SABI |
Setelah menerima surat Niewenhuijzen, Sultan Aceh merasakan perang akan berlangsung bila-bila masa. Maka kerana yakin hanya Allah saja penentu hidup mati manusia, dan orang Aceh dilarang tunduk kepada orang kafir, Teungku Syeikh Muhammad yang lebih terkenal lakap Teungku Chik Pante Kulu menulis Hikayat Prang Sabi, maka diaplikasi dari beberapa ayat al-Quran bagi orang-orang yang beriman.
Apakah sebab kamu tidak mau berperang ke atas jalan Allah, untuk membebaskan rakyat tertindas, yang terdiri dari pria, wanita dan belita. Dengan suara sayup mereka berdoa: oh Tuhan, bebaskanlah kami dari negeri yang dikuasai penguasa durjana ini, kirimkan kepada kami, seorang wali sejati, hantarkan kepada kami seorang pembela kesatria ( an-Nisa ) Jangan dianggap mati, meski nyatanya demikian. Jangan ragukan kekasih hati. Ada firman Tuhan; Jangan sebut mati, meski nyawanya sudah tiada. Dia hidup di sisi Illahi. Sentiasa bersukaria ( Ali Imran, 169-170 )
Telah berlalu suatu zaman. Zaman emasnya Selat Melaka. Di kiri kanan tebingnya, berdiri negara-negara berdaulat, yang menjadi tuan negeri sendiri. Buminya subur, rakyatnya makmur, angkatan perangnya kuat, siap menggempur musuh keparat. Tetapi zaman emasnya itu, dirampas penjajah barat Kristian. Dunia Melayu Raya menderita, dirampas kedaulatannya, diperbudakan rakyatnya, dirampok kekayaannya. Jangan berduka, mereka pun menderita. Kalau kamu menderita sengsara, mereka pun, kafir durjana itu, pernah merasa derita serupa. Hari-hari kami gulirkan, antara penghuni bumi ini, Allah ingin mengetahui siapa yang beriman antara kamu. Sebahagian kamu ditafsirkan syahid, Allah tidak menyukai orang-orang yang durjana ( Ali Imran, 160 )
Bagi militer ia merupakan senjata paling berbahaya, menghidupkan semangat jihad terhadap rakyat Aceh. Oleh itu ia harus dilarang baca, simpan atau mengedar, Namun bagi sarjana, seperti Prof. Dr. Christian Snouck Hurgrunje ( 1857-1936 ) seorang ahli Aceh yang sangat luas ilmunya ( Hurgrunje dikirim ke Makkah untuk mendalami Islam bagi strategi perang dan kemudian dikirim ke Aceh untuk mengkaji keampuhan orang Aceh yang kuat kepada pegangan Islamnya ) menaruh perhatian besar kepada Hikayat Prang Sabi. Tentang ketinggian nilai sastra Hikayat Prang Sabi sebagai karya sastra perang telah diteliti secara mendalam. H.T. Damste, seorang ahli bahasa dan sastra Aceh ( pernah menjadi Controleur di Idi Aceh Timur telah membahas dan menterjemahkan Hikayat Prang Sabi ke bahasa Belanda. Naskahnya tersiar dalam Bijdragen Tot de Tad-Land-en Volkenkunde van Nederlandsche Indie Deel 84 diterbitkan di Belanda. Uraian beliau telah membuat lingkungan tertarik kepada sastra Aceh.
Naskah Penyerahan Kedaulatan Aceh yang disiapkan Belanda ditolak mentah-mentah oleh Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah. Naskah tanpa tanda tangan itu disembunyikan oleh Belanda dan baru terbongkar rahsianya setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Ogos 1945. Menjelang pendaratan tentera Jepang di Aceh pada tanggal 12 Maret 1942, rakyat Aceh mengusir Belanda. Belanda lintang pukang lari dari Aceh. Ini amat dihargai oleh Bung Karno yang menganggap Aceh daerah modal perjuangan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Sejumlah perlawanan bangsa Aceh dengan kaum kafir cukup lama. Abad ke 16, Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah, membantai angkatan Portugis di pantai-pantai Aceh ( Lamno, Lubok, Pidie, Pasai ) Akhir abad ke 16, Sultan Alaiddin al Mukammil, dalam pertempuran di Teluk Hru ( Sumatera Timur ) membantai soldadu Portugis dalam peperangan laut yang sangat dahsyat mengorbankan lebih 1000 perajurit Aceh dan dua orang laksamana. Setelah kalah di perairan Sumatera, Portugis menjajah Melaka dengan bersekongkol dengan raja-raja Melayu di semenanjung antaranya Sultan Johor, Pahang dan lain-lain. Sultan al-Kahhar memerangi Portugis di Melaka dan diteruskan oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Walau pun Melaka gagal dibebaskan, negeri-negeri Melayu yang lain di semenanjung berjaya dikeluarkan dari pengaruh Portugis. Aceh adalah kerajaan Islam di Asia Tenggara yang membendung penjajahan fizikal dan mental Kristianitas bangsa barat. Selepas memenang Perang Salib di Empayar Othmaniah, Spanyol, barat dan Kristianitas seakan mengganas pada Islam. Maka di Afrika Utara bentengnya ialah Magribi, Asia Kecil ditangani oleh Turki Othmaniyah, Timur Tengah oleh Isfahan dan benua kecil India oleh kerajaan Islam Agra.
Pada saat pecah Perang Aceh, Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah mengerahkan seluruh tenaga dikonsolidasi untuk menentang kolonial. Seluruh kekuasaan Aceh dari semua peringkat atasan hingga ke pedesaan disokong oleh bangsawan dan ulama sebagai inti aparatur pemerintahan. Belanda memandang Aceh hanya pada Sultannya kerana pengertian Aceh adalah Sultan di atas puncaknya. Belanda tahu menghadapi Aceh bukan hanya menghalakan seluruh bala tentera dan kekuatan militer dan kapal perang tetapi kebulatan tekad rakyat Aceh mempertahankan kedaulatan. Sejak Sultan Alaiddin Mahmud Syah ( 1870-1874 ) hingga ke Sultan terakhir, Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah, Aceh tidak dapat ditundukkan. Aceh telah melahirkan tokoh-tokoh mujahid dan pahlawan-pahlawan perang Aceh seperti Teungku Tjhik Muhammad Saman Tiro, Teuku Panglima Polem, Teuku Lung Bata, Teuku Umar Pahlawan, Tjut Nyak Dhien, Tjut Meutia, Panglima Nyak Makam, Teungku Haji Muhammad yang terkenal dengan Teungku Tjhik Pante Kulu, penyair Hikayat Prang Sabi.
Peristiwa Prang Sabi adalah ketidaksanggupan Nievwenhrijzen memahami apa yang tersirat daripada surat balasan Sultan yang telah menjerumuskan soldadu-soldadu Belanda ke kancah perang. Agresi Belanda yang pertama di bawah pimpinan Major Jeneral Kohler dengan bentrokan pada 5 April 1873, setelah 15 hari bertempur, Major J.H.R. Kohler sempat melarikan diri pada 15 April 1873 ke kapalnya sementara Nieuwenhuijzen lari ke Pulau Pinang dengan kapal Citadel van Antwerpen pada 1 April 1873 setelah menyatakan matlamat perangnya 26 Merat 1873. Pernyataan lengkapnya berbunyi:
Komisaris Gubermen Hindia Belanda untuk Aceh. Menimbang bahawa bagi Gubermen Hindia Belanda terpukul kewajipan untuk membersihkan segala rintangan dalam memelihara kepentingan umum atas perniagaan dan pelayaran di kepulauan Hindia Timur: Bahawa kepentingan umum itu telah terganggu oleh berlanjutnya pertentangan antara sesama negeri rantau takluk Aceh, diantaranya ada yang telah datang meminta bantuan Gubermen Hindia Belanda, tetapi masih saja belum bisa diberikan. Belanda keinginan yang berulang-ulang dikemukakan oleh Gubermen supaya keadaan sedemikian jangan terjadi lagi dan keinginan supaya ditentukan kedudukan Aceh dalam hubungan yang lebih tepat kepada Guberman Hindia Belanda, tetapi selaku sahaja terhambat oleh keengkaran dari pihak pemerintah kerajaan Aceh dan oleh kelengkapan kerajaan itu untuk memelihara pemerintah kerajaan Aceh dan oleh kelengahan kerajaan itu untuk memelihara ketertipan dan keamanan yang diperlukan daerah takluknya.
Bahawa percubaan untuk keperluan itu telah disumbat dengan amat curang di kala Gubermen Hindia Belanda sedang didekati dengan maksud membina hubungan lebih akrab dengan Aceh: Bahawa telah diminta penjelasan kepada Sultan Aceh, mula-mula dengan surat tanggal 22 bulan ini sudah itu pada tanggal 24 hasilnya tidak hanya tidak diberikan sama sekali penjelasan itu, tetapi juga telah tidak dibantah segala apa yang didakwakan dalam surat itu dan lebih dari itu pula telah digiatkan mengumpulkan apa saja untuk mengadakan perlawanan.
Bahawa dengan itu tidak bisa lain ertinya selain bahawa Aceh menentang Gubermen Brlanda dan sikap permusuhannya semula hendaklah dipertahankan kaumnya: bahawa kerana itu pemerintahan kerajaan Aceh telah bersalah melanggar perjanjian yang sudah diikat dengan Guberman Hindia Belanda bertangga; 30 Maret 1857 tentang perniagaan, perdamaian dan persahabatan yang kerana itu menyakinkan bahawa pemerintahan kerajaan tersebut tidak dapat dipercayai:
Bahawa permintaan Hindia Belanda dalam kacau sebagai ini merasakan tidak mungkin lagi mempertahankan kepentingan umum sebagai yang diperlukan demi keamanan sendiri di bahagian utara Sumatera, apabila tidak diambil tindakan kekerasan. Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pemerintah Hindi Belanda, ia atas nama pemerintah, menyatakan perang kepada Sultan Aceh. Dengan pernyataan ini setiap orang diperingatkan terhadap beradanya mereka di bawah akibat perang dan kewajipan yang harus dipenuhi dalam perang.
Surat itu termaktub di atas kapal perang Citadel van Antwerpen yang berlabuh di Aceh Besar, Rabu 26 Maret 1573 ditandatangani oleh Nievwenhuijzen.
Satu kenyataan sejarah, bahawa sesudah Perjanjian 1857, tidak ada lagi pembaharuan hubungan antara Aceh dengan Hindia Belanda. Tidak ada istilah penyerahan kedaulatan kepada Belanda dan tidak ada penanda tangan Sultan dalam hal tersebut. Ketika Sultan dalam tawanan Belanda tetap mengadakan pertukaran dengan cuba membuat perhubungan dengan Kaisar Jepang. Walau hubungan tidak berhasil secara fzikal, tetapi politis hal itu berarti bahawa Sultan tidak mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh dan pembuangan Sultan ke Ambon ( 1907 ) kemudian Betawi ( 1918 ) adalah bukti sejarah, bahawa Sultan tidak pernah tunduk bagi mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
Wajarlah Bung Karno berkata, Aceh adalah Daerah-Modal, Modal Perjuangan kemerdekaan dan Modal Kedaulatan bagi bangsa Indonesia.
rujukan
Teungku H.A. Hasjmy ( Ali Hashim ) Perang Kemerdekaan Aceh,
Pertemuan Selat Melaka, Melaka, 1998